Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak agar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016. RUU PPRT dinilai penting karena mengacu pada substansi Konvensi ILO 189 tentang situasi kerja layak PRT.
Komisioner Komnas Perempuan Magdalena Sitorus menegaskan pihaknya akan tetap memperjuangkan RUU PPRT untuk masuk ke Prolegnas pada tahun mendatang meskipun tahun ini kandas dalam rapat Baleg DPR.
(Baca Juga: DPR Bekerja Kembali, RUU Pembantu Didesakkan Lagi)"Rencananya kami akan bertemu dengan komisi IX untuk mendesak mereka memasukkan RUU PPRT dalam Prolegnas mendatang," kata Magdalena saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (18/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Magdalena mengatakan telah menyurati komisi IX perihal ajuan pertemuan tersebut tetapi belum mendapatkan respons. Menurut Magdalena, RUU PPRT penting karena menjadi dasar untuk perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi PRT. RUU PPRT dinilai juga akan menjadi payung hukum terhadap keberadaan PRT.
(Baca Juga: Perjuangkan RUU PRT, Buruh Mogok Makan 22 Hari)Selain itu, dia menilai dengan adanya UU Perlindungan PRT, akan terwujud pengaturan atas kondisi kerja layak PRT. Situasi tersebut, katanya, tidak hanya menguntungkan PRT tapi juga pemberi kerja. Hal itu misalnya, PRT bisa menjadi lebih disiplin dalam bekerja. Sehingga, PRT tidak bisa seenaknya berhenti bekerja atau keluar rumah sesuka hati di saat jam kerja.
(Lihat Juga: Pernyataan Jokowi Soal Pembantu Dinilai Rendahkan Martabat)
"Makanya untuk meningkatkan kualitas PRT, pemerintah perlu memberikan edukasi dan pelatihan agar PRT layak dipekerjakan," ujar dia.
Sementara itu, mengenai standar pengupahan bagi PRT, Magdalena berpendapat pemerintah tidak perlu merasa kesulitan dalam pengaturan. Pertama-tama, katanya, pemerintah butuh menetapkan kategorisasi upah minimum bagi PRT.
"Jenis PRT ada banyak. Ada yang bekerja penuh waktu sampai menginap dan ada yang paruh waktu. Ada yang disubsidi pemberi kerja seperti diberi makan dan perlengkapan mandi, ada yang tidak. Tinggal diklasifikasi saja. Tidak sulit," kata Magdalena.
Dalam RUU PPRT, kata Magdalena, nantinya akan mengatur semua itu, termasuk kontrak antara pemberi kerja dan PRT yang memuat perihal jam kerja, upah serta hak dan kewajiban lainnya. Dengan begitu, dia mengharapkan PRT dapat bekerja lebih disiplin dan pemberi kerja tidak memperlakukan PRT sewenang-wenang.
Selain mendesak agar RUU PPRT masuk Prolegnas mendatang, Komnas Perempuan juga mendesak agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) nomor 189 tentang Kerja Layak bagi PRT.
"Dalam konvensi itu diatur bahwa upah PRT harus layak, jam kerja delapan jam, mendapatkan konsumsi yang layak, dan bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Diatur juga mengenai hak bermobilitas, berkomunikasi, berorganisasi dan bernegosiasi," katanya.
Data Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) pada 2009 menyebutkan sepuluh juta hingga 16 juta rumah tangga kelas menengah dan menengah atas Indonesia mempekerjakan PRT.
Sementara Data 2002 ILO mencatat bahwa jumlah PRT di Indonesia diperkirakan sebanyak 2.593.399 dan melayani sekitar 2,5 juta rumah tangga. Sementara itu, setiap tahunnya sekitar 600 ribu hingga 700 ribu perempuan bermigasi ke luar negeri untuk bekerja sebagai PRT.
"Namun peran dan jasa besar para PRT tidak diimbangi dengan perlindungan dan pemenuhan hak mereka. Area kerja PRT dalam rumah tangga yang bersifat domestik, dalam rumah pribadi dan bahkan sering terisolasi, menyebabkan PRT sangat rentan akan eksploitasi bahkan mengalami berbagai bentuk kekerasan," kata Magdalena.
Berdasarkan data pengaduan dan pemantauan Komnas Perempuan, PRT mengalami eksploitasi dan dehumanisasi, dari waktu kerja yang tidak terbatas, jenis pekerjaan yang banyak, gaji rendah, pemutusan hubungan kerja sepihak, tidak ada jaminan kesehatan keamanan dan keselamatan, sampai pada kekerasan fisik dan seksual.
"PRT migran juga alami kerentanan berlapis, baik penyekapan, perlindungan parsial yang tergantung pada legalitas, rentan dijebak dalam sindikat perdagangan orang dan perdagangan narkoba yang mengancam nyawanya, hingga hilang kontak dan tak berjejak," kata Magdalena.
(utd)