Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengklaim tindakannya mendorong revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan inisiatif DPR, tak menyalahi Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Yasonna menyebut Presiden Jokowi telah mengetahui lobi politik antara pemerintah dengan DPR terkait UU KPK. "Itu kan kesepakatan bersama (DPR dan pemerintah). Jadi sudah diputuskan di paripurna," kata Yasonna di Jakarta. (Baca:
DPR Resmi Setujui Revisi UU KPK dan Dana Aspirasi)
Menurut Yasonna, revisi UU KPK telah masuk Program Legislasi Nasional 2015-2019. Alhasil, kata dia, dorongannya atas revisi UU KPK tidak melanggar Peraturan Presiden. “Pengusul revisi UU KPK itu DPR,” ujar menteri asal PDIP yang lama menjabat sebagai anggota DPR itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam Perpres, menteri diharuskan menyampaikan hasil penyusunan Prolegnas prioritas tahunan kepada presiden untuk mendapatkan persetujuan. Jika telah mendapatkan persetujuan presiden, menteri menyampaikan Prolegnas tersebut kepada DPR melalui Badan Legislasi.
Namun dalam rapat antara Badan Legislasi DPR bersama pemerintah, Yasonna mendorong UU KPK yang diinisiasi DPR masuk dalam Prolegnas Prioritas 2015 tanpa berdiskusi dengan Presiden. Di sini Yasonna memegang kunci lobi politik.
Saat itu pemerintah mengajukan Perppu Nomor 1 Tahun 2015 ke DPR, yakni soal Pelaksana Tugas Ketua KPK menggantikan pimpinan nonaktif Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Apabila DPR tak segera menyepakatinya, maka Perppu bisa tak berlaku lantaran tenggat waktu yang akan habis.
Selanjutnya dalam negosiasi kedua antara legislatif dan eksekutif, DPR menginginkan Yasonna menyetujui pembahasan revisi UU KPK. Terdesak, Yasonna pun sepakat.
Namun pembahasan UU KPK bak jauh panggang dari api. Jokowi tak setuju pembahasan dilakukan tergesa-gesa. Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan Presiden tak berniat me revisi UU KPK.
"UU KPK itu adalah inisiatif DPR. Presiden menegaskan tidak ada niatan untuk melakukan revisi UU KPK," ujar Pratikno. (Baca juga:
KPK Terancam Punah)
Butuh persetujuan JokowiYasonna mengatakan pembahasan revisi UU KPK harus mengantongi persetujuan Presiden. Jika kata sepakat tak didapat dari Presiden, pembahasan terancam mandek.
"Kalau DPR ngotot mengajukan revisi, ya silakan saja. Tapi kalau Presiden menolak, ya tidak jalan dong. Tidak bisa. Harus dibahas dengan presiden," ujar Yasonna.
Langkah DPR hendak merevisi UU KPK dinilai Yasonna masih panjang, sebab draf revisi pun saat ini belum ada. Parlemen harus membuat naskah akademik dan mendengar keterangan para pakar lebih dulu. Setelah itu barulah Badan Legislasi atau Komisi III DPR menyusun draf revisi UU.
Apabila draf telah rampung dibahas, maka diajukan ke rapat paripurna. Jika disetujui dan disahkan, maka revisi tersebut resmi menjadi insiatif DPR.
Merujuk pada UUD 1945, DPR memiliki hak konstitusional untuk merancang atau merevisi UU. DPR berhak mengusulkannya dalam Program Legislasi Nasional. Namun meski diajukan tahun ini, pembahasan belum tentu dilaksanakan pada tahun yang sama.
KPK sendiri mengkritik usulan revisi UU KPK. Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji tak sepakat soal pemangkasan wewenang KPK untuk menyadap dan menuntut. Hal serupa disampaikan oleh pimpinan KPK lainnya, Johan Budi Sapto Pribowo.
KPK juga tak setuju soal usulan pemberian kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Indriyanto dan Johan menegaskan, KPK dapat menumpas korupsi tanpa Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) seperti yang dimiliki Kepolisian.
(agk)