Jakarta, CNN Indonesia -- Tidak ada catatan yang bisa memastikan kapan mudik Lebaran pertama kali dilakukan. Umumnya dari kita menerima mudik begitu saja sebagai sebuah peristiwa sosial yang dijalani banyak orang menjelang Lebaran.
Sejarawan dari UGM Djoko Suryo menyatakan fenomena mudik selalu berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi dan juga infrastruktur perhubungan di Indonesia. “Memang belum ada catatannya. Tapi saya kira fenomena mudik ini mulai ada di sekitar tahun 1920-an, sejak zaman kolonial, ” katanya saat berbincang dengan CNN Indonesia, Senin (13/7).
Mudik, lanjut Djoko, sedari awal, selalu menjadikan Batavia atau Jakarta sebagai pusat ceritanya. Mudik sudah mulai dilakukan oleh orang-orang semenjak Batavia menjadi kota paling besar di zaman kolonial dan kini berubah menjadi Jakarta dan tetap menjadi kota terbesar di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Djoko menyebutkan, saat kolonial, orang-orang sudah melakukan urbanisasi ke kota dan Batavia adalah salah satu tujuan utamanya. Di kota ini, sebagai kota yang mulai tumbuh, membutuhkan banyak pekerja apakah untuk sektor formal dan informal. Kebutuhan akan pekerja ini menarik banyak orang dari daerah sekitarnya.
Pertumbuhan kota yang luar biasa, sebagaimana disebutkan oleh J.S Furnivall dalam bukunya ‘Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk’, disebabkan oleh beberapa hal. Batavia yang berada di daerah pantai atau pelabuhan menjadi melting pot berbagai macam suku dan juga budayanya.
Sejak akhir abad ke-17, penduduk Batavia setidaknya terbagi menjadi Belanda atau Eropa, Indo, China, Hadramaut atau Arab, Jawa, Melayu, Bali. Sementara orang Betawi yang disebut sebagai orang asli Batavia atau Jakarta diyakini sebagai keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Komposisi penduduk Batavia relatif tidak mengalami perubahan hingga sekarang.
Sebagai kota pelabuhan, Batavia menjadi pusat bisnis. Hampir semua barang dan komoditas diperdagangkan di kota ini. Barang-barang dan komoditas itu tidak hanya didatangkan dari daerah-daerah lain yang ada di Nusantara waktu itu. Beberapa barang juga didatangkan dari luar negeri. Perdagangan selalu berarti uang, dan pekerjaan. Tak salah jika semua ingin menjadi bagian dari Batavia.
Batavia sebut Furnivall menjadi pusat pemerintahan kolonial. Pemerintah kolonial waktu itu tidak mungkin mengisi seluruh bagian aparaturnya dengan orang-orang Belanda. Hanya pos-pos penting yang diberikan pada orang-orang Belanda, sisanya diberikan oleh kelompok Eropa atau Indo. Sisanya diberikan kepada orang-orang pribumi atau Jawa. Makanya, untuk menopang itu, sekolah-sekolah juga mulai didirikan di Batavia. Alasan utamanya untuk memenuhi kebutuhan para aparat pemerintahannya.
Orang-orang China, sedari awal tidak pernah dilibatkan dalam pemerintahan. Mereka selalu menjadi aktor-aktor utama dalam bidang ekonomi. Furnivall menyatakan salah satu sebab mengapa orang-orang China bertumpuk di bidang ekonomi karena pemerintah kolonial tidak pernah memasukkan mereka dalam pemerintahan.
“Saat akhir zaman kolonial, ketika Batavia sudah makin besar, banyak orang pergi ke sana. Nah saat Lebaran, para kaum urban ini kemudian ingin pulang ke kampung halamannya untuk melepas rindu dan silaturahmi dengan keluarga. Saya kira ini menjadi awal ritual mudik Lebaran di Indonesia,” tutur Djoko.
Kata mudik sendiri, ungkap Djoko adalah sebuah kata yang dekat dengan Betawi, orang yang disebut sebagai penduduk asli Batavia. Mudik berasal dari kata udik yang berarti kampung. Mudik lalu berarti aktivitas orang-orang yang tinggal di Batavia untuk pulang ke kampungnya masing-masing. Mudik ini menjadi petunjuk jelas bahwa Batavia, sebut Djoko adalah pusat atau
center, sementara yang daerah lainnya yang disebut udik itu adalah pinggiran.
‘Ya sejak awal mudik selalu pusatnya adalah di Batavia, kini Jakarta. Saya kira itu tidak banyak berubah sampai sekarang. Orang-orang mudik itu ya biasanya mereka yang tinggal di Jakarta yang pulang kampung saat Lebaran. Sebutan itu jadi kurang cocok untuk orang yang tinggal di kota lain selain Jakarta,” tutur Djoko.
Aktivitas mudik, sebut Djoko, makin intensif dengan tumbuhnya teknologi transportasi dan infrastruktur perhubungan. Tetapi yang paling berpengaruh, ungkap Djoko, adalah dengan dibangunnya kereta api di Indonesia. “Kereta api membuat mobilitas orang makin cepat dan makin banyak. Yang dulu mudik perlu berhari-hari, sudah bisa lebih cepat,” tuturnya.
Kereta api di Indonesia tak lepas tanam paksa Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Program ini mengisi kekosongan kas Kerajaan Belanda akibat resesi ekonomi dan Perang Jawa alias Perang Diponegoro 1825-1830. Kereta api diperlukan sebenarnya untuk mengirim pekerja perkebunan dalam jumlah besar sekaligus untuk mengangkut hasil bumi. Jalan darat waktu itu dinilai kurang optimal. Jalur kereta api pertama di bangun dibangun tahun 1867 di Semarang dengan rute Semarang - Tanggung yang berjarak 26 km oleh NISM, N.V. (Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij).
Hingga tahun 1900, jalur kereta api sudah membentang hampir dari Batavia hingga ke penjuru timur Pulau Jawa. “Saya kira mudik makin besar dengan kereta api. Apalagi ketika Batavia, Semarang dan Surabaya sudah terhubung dengan jalur kereta api,” papar Djoko.
Kereta api, membuat mobilitas orang-orang lebih bergairah. Mereka bisa menempuh jarak lebih jauh dengan waktu lebih sedikit dan dengan jumlah bawaan yang lebih besar. Djoko menyebut, bus sudah mulai ada di Indonesia sekitar tahun 1920. Tetapi waktu itu, bus yang ada tidak sebesar sekarang dan ada persoalan dengan kondisi jalan raya.
Kereta api di Hindia Belanda, menurut Rudolf Mrazek dalam bukunya 'Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni’ menyebutkan, menjadi moda transportasi favorit orang-orang di Hindia Belanda, terutama di Pulau Jawa. Mrazek menyebutkan bahwa kenaikan jumlah penumpang pribumi atau kelas tiga jauh lebih besar dari pada penumpang Belanda atau Eropa, Indo bahkan China.
Peningkatan ini menunjukkan bahwa orang-orang pribumi punya kecenderungan untuk lebih suka bepergian dari pada kelompok-kelompok lain di Indonesia. Kedua, peningkatan jumlah penumpang pribumi salah satunya karena dengan naik kereta mereka bisa membawa banyak barang, termasuk ternak mereka, seperti ayam atau kambing. Disinilah awal mula sebutan bagi penumpang kereta api kelas III atau kini kelas ekonomi disebut juga sebagai kelas kambing.
Dalam bukunya, Mrazek juga menyinggung soal jalan darat, seperti mobil dan lainnya. Tetapi, waktu itu memang banyak hal yang membuat transportasi darat tidak setenar kereta api. Hanya orang-orang yang kaya yang bisa naik mobil atau bus waktu itu. Selain itu, jalan darat juga bersaing dengan transportasi lainnya, seperti delman, cikar atau dokar. Tentu itu kalah menarik dengan naik kereta api.
Situasi ini juga tampaknya tidak jauh berubah hingga saat ini. Saat apel mudik Lebaran di Stasiun Gambir, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menyebutkan akan ada 20 juta orang yang akan mudik tahun ini. Menteri Jonan memperkirakan akan ada peningkatan 9 persen kenaikan penumpang kereta api. Sementara moda transportasi lain hanya akan naik 2 persen hingga 3 persen.
Kenaikan penumpang kereta api bisa jadi adalah buah dari upaya PT KAI untuk meningkatkan pelayanan mereka kepada para penumpangnya. Tetapi ada baiknya juga diingat, sejarah transportasi kolonial Hindia Belanda ini dibangun oleh kereta api. Sedari awal, kereta api sudah jadi angkutan favorit rakyat. Tampaknya, dalam situasi apa pun, kereta api akan mengalami kenaikan penumpang, terlebih saat mudik.