Sejarah Mudik, Batavia, dan Kereta Api

Helmi Firdaus | CNN Indonesia
Selasa, 14 Jul 2015 13:20 WIB
Mudik diyakini sudah dilakukan sejak akhir zaman kolonial Hindia Belanda. Teknologi kereta api membuat mudik makin lebih massif.
Pemudik di dalam kereta Krakatau tujuan Kediri menunggu keberangkatan di Stasiun Senen, Jakarta, Senin, 13 Juli 2015. H-5 pemudik mulai memadati Stasiun Senen untuk kembali ke kampung halaman di pulau Jawa. CNN Indonesia/Safir Makki
Aktivitas mudik, sebut Djoko, makin intensif dengan tumbuhnya teknologi transportasi dan infrastruktur perhubungan. Tetapi yang paling berpengaruh, ungkap Djoko, adalah dengan dibangunnya kereta api di Indonesia. “Kereta api membuat mobilitas orang makin cepat dan makin banyak. Yang dulu mudik perlu berhari-hari, sudah bisa lebih cepat,” tuturnya.

Kereta api di Indonesia tak lepas tanam paksa Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Program ini mengisi kekosongan kas Kerajaan Belanda akibat resesi ekonomi dan Perang Jawa alias Perang Diponegoro 1825-1830. Kereta api diperlukan sebenarnya untuk mengirim pekerja perkebunan dalam jumlah besar sekaligus untuk mengangkut hasil bumi. Jalan darat waktu itu dinilai kurang optimal. Jalur kereta api pertama di bangun dibangun tahun 1867 di Semarang dengan rute Semarang - Tanggung yang berjarak 26 km oleh NISM, N.V. (Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij).

Hingga tahun 1900, jalur kereta api sudah membentang hampir dari Batavia hingga ke penjuru timur Pulau Jawa. “Saya kira mudik makin besar dengan kereta api. Apalagi ketika Batavia, Semarang dan Surabaya sudah terhubung dengan jalur kereta api,” papar Djoko.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kereta api, membuat mobilitas orang-orang lebih bergairah. Mereka bisa menempuh jarak lebih jauh dengan waktu lebih sedikit dan dengan jumlah bawaan yang lebih besar. Djoko menyebut, bus sudah mulai ada di Indonesia sekitar tahun 1920. Tetapi waktu itu, bus yang ada tidak sebesar sekarang dan ada persoalan dengan kondisi jalan raya.

Kereta api di Hindia Belanda, menurut Rudolf Mrazek dalam bukunya 'Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni’ menyebutkan, menjadi moda transportasi favorit orang-orang di Hindia Belanda, terutama di Pulau Jawa. Mrazek menyebutkan bahwa kenaikan jumlah penumpang pribumi atau kelas tiga jauh lebih besar dari pada penumpang Belanda atau Eropa, Indo bahkan China.

Peningkatan ini menunjukkan bahwa orang-orang pribumi punya kecenderungan untuk lebih suka bepergian dari pada kelompok-kelompok lain di Indonesia. Kedua, peningkatan jumlah penumpang pribumi salah satunya karena dengan naik kereta mereka bisa membawa banyak barang, termasuk ternak mereka, seperti ayam atau kambing. Disinilah awal mula sebutan bagi penumpang kereta api kelas III atau kini kelas ekonomi disebut juga sebagai kelas kambing.

Dalam bukunya, Mrazek juga menyinggung soal jalan darat, seperti mobil dan lainnya. Tetapi, waktu itu memang banyak hal yang membuat transportasi darat tidak setenar kereta api. Hanya orang-orang yang kaya yang bisa naik mobil atau bus waktu itu. Selain itu, jalan darat juga bersaing dengan transportasi lainnya, seperti delman, cikar atau dokar. Tentu itu kalah menarik dengan naik kereta api.

Situasi ini juga tampaknya tidak jauh berubah hingga saat ini. Saat apel mudik Lebaran di Stasiun Gambir, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menyebutkan akan ada 20 juta orang yang akan mudik tahun ini. Menteri Jonan memperkirakan akan ada peningkatan 9 persen kenaikan penumpang kereta api. Sementara moda transportasi lain hanya akan naik 2 persen hingga 3 persen.

Kenaikan penumpang kereta api bisa jadi adalah buah dari upaya PT KAI untuk meningkatkan pelayanan mereka kepada para penumpangnya. Tetapi ada baiknya juga diingat, sejarah transportasi kolonial Hindia Belanda ini dibangun oleh kereta api. Sedari awal, kereta api sudah jadi angkutan favorit rakyat. Tampaknya, dalam situasi apa pun, kereta api akan mengalami kenaikan penumpang, terlebih saat mudik.

(hel)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER