Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengatakan ada beberapa menteri Kabinet Kerja yang memiliki komunikasi buruk dengan Presiden Joko Widodo dan juga menteri koordinator. Faisal menilai, menteri-menteri tersebut layak dicopot dari jabatannya.
Faisal menyebut, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan merupakan salah satu menteri yang dimaksud. Menurut sumber yang enggan ia sebutkan, mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi ini mengatakan, Jonan jarang menghadiri rapat bersama Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Sofyan Djalil.
"Jonan ditelepon atau di-sms menko, tidak datang dia. Dia bilang menko harus membuat jadwal seminggu sebelumnya. Dia jarang ikut rapat koordinasi," ujar Faisal pada sebuah diskusi yang digagas Politica Wave di Jakarta, Selasa (14/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perilaku serupa, menurut Faisal, tidak hanya ditunjukkan Jonan, tapi juga Menteri Pertanian, Amran Sulaiman. "Sengak, merasa paling pinter, paling penting. Mereka harus diganti," katanya.
Faisal juga menyebut kebiasaan buruk para pembantu Jokowi di pemerintahan. Ia mengatakan, banyak menteri di Kabinet Kerja yang selalu mengiyakan pernyataan dan usul Jokowi.
"Mereka cenderung mengatakan iya pada apa yang dikatakan Jokowi, padahal mereka seharusnya bisa mengatakan tidak," ucapnya.
Faisal mencontohkan kebijakan pemberian korting bagi para pengguna jalan tol yang dikelola Jasa Marga. Menurutnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono seharusnya tidak serta-merta menyetujui usul Jokowi tersebut karena harga saham Jasa Marga bisa turun akibat kebijakan itu.
"Saya tidak mengerti kenapa mental mereka seperti itu, sampai-sampai keilmuwannya dirontokan," tutur Faisal.
Terkait kinerja dan perilaku menterinya, Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Konstitusi berkelakar, sistem presidensil memang kerap kali menempatkan presiden pada posisi yang sial.
Ke depan jika Jokowi benar-benar akan merombak kabinetnya, Bivitri berpendapat, mantan Gubernur DKI Jakarta itu tak perlu tersandera pengaruh partai politik, baik yang menyokong pemerintahan maupun yang mengambil posisi berseberangan.
"Itu tidak perlu jadi pertimbangan utama karena sistem presidensial tidak mudah dijatuhkan. Alasan impeachment pun bukan permasalahan suka tidak suka tapi lebih pada persoalan hukum pidana," ucapnya.
(meg)