Perbolehkan Golkar-PPP Ikut Pilkada, KPU Dinilai Tak Netral

Lalu Rahadian | CNN Indonesia
Rabu, 15 Jul 2015 18:17 WIB
Perludem menilai KPU gagal menjaga independensinya karena membuka kesempatan bagi partai politik yang memiliki konflik internal untuk mengikuti pilkada.
Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay saat simulasi pemungutan suara pemilihan kepala daerah Gubernur dan wakil gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, Bupati dan Wakil Bupati di halaman gedung KPU, Jakarta, Selasa, 7 April 2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kemandirian Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di Indonesia dipertanyakan. Menurut Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), KPU gagal menjaga independensinya sebagai penyelenggara pemilu karena telah membuka kesempatan bagi partai politik yang memiliki konflik internal untuk mengikuti pilkada serentak tahun ini.

"Keputusan (KPU membuka kesempatan parpol berkonflik ikut pilkada) justru mendegradasi kemandirian KPU, menabrak undang-undang, mengundang keributan baru dalam proses pencalonan kepala daerah nanti, memicu sengketa pilkada, dan melanggengkan konflik internal partai politik," kata penelitti Perludem Heroik Muttaqien Pratama dalam rilis yang diterima CNN Indonesia, Rabu (15/7).

Pada Selasa (14/7) malam kemarin, Ketua KPU Husni Kamil Malik diketahui telah bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), Ketua Umum Golkar hasil Munas Bali Aburizal Bakrie, Ketua Umum Hanura Wiranto, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, Ketua DPP PPP Ahmad Dimyatinatakusumah, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM Tedjo Edhy Purdijatno, dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara-Redormasi Birokrasi Yuddy Chrisnandy. (Baca juga: JK Inisiasi Pertemuan, Golkar-PPP Akhirnya Bisa Ikut Pilkada)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah bertemu dengan tokoh-tokoh tersebut, KPU memutuskan akan mengakomodasi dualisme kepengurusan Partai Golkar dan PPP dalam proses pencalonan kepala daerah tahun ini.

Namun, KPU mensyaratkan adanya kesepakatan antar kepengurusan yang berkonflik dalam mencalonkan calon kepala daerah terkait.

Heroik memandang, akomodasi calon kepala daerah dari partai yang berkonflik akan menimbulkan pandangan tidak adanya kemandirian dalam tubuh KPU saat ini.

"KPU seakan membuka diri diintervensi oleh pihak lain, khususnya partai-partai politik yang berkonflik." (Baca juga: Pencalonan Kepala Daerah Golkar Tak Terpengaruh Putusan PTTUN)

Selain dianggap tidak mandiri, KPU juga dikatakan telah melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undnag Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Pelanggaran terhadap UU Partai Politik dan UU Pilkada dikatakan terjadi karena KPU akan mengakui dua kepengurusan dalam tubuh satu partai nantinya. Padahal, menurut kedua UU tersebut, hanya partai politik yang memiliki SK lah yang berhak mengikuti rangkaian Pilkada serentak di Indonesia.

"Tidak mungkin Kementerian Hukum dan HAM menerbitkan Surat Keputusan berlaku untuk dua kepengurusan dalam satu partai politik. SK Menteri itulah yang harus dilampirkan pada saat partai politik atau gabungan partai politik di daerah mengajukan pasanngan calon kepala daerah," ujar Heroik. (Baca juga: Islah Terbatas, Solusi Golkar dan PPP Ikut Pilkada Serentak)

Keputusan KPU untuk mengakomodasi partai-partai yang berkonflik juga dipandang akan memicu munculnya sengketa pada tahap pencalonan dan saat hasil Pilkada keluar nantinya. Menurut Heroik, partai yang tidak puas dengan keputusan KPU dapat membawa masalah itu ke ranah sengketa.

"Potensi terjadinya sengketa hasil besar karena bisa jadi dianggap perlakuan khusus bagi parpol-parpol bersengketa," kata Heroik.

KPU pun diharap dapat kembali kepada Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 sehingga KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak menghadapi banyak masalah saat Pilkada akan dimulai nanti. (hel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER