Jakarta, CNN Indonesia -- Penyidik Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim) batal memeriksa bekas Kepala Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) Raden Priyono terkait dugaan korupsi pada penjualan kondensat bagian negara.
Menurut Kepala Subdirektorat Pencucian Uang Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Komisaris Besar Golkar Pangraso, kuasa hukum Priyono telah mendatangi kantor Bareskrim, Jakarta, untuk mengajukan penjadwalan ulang pemeriksaan kliennya.
"Dia minta dijawal ulang karena yang bersangkutan masih mudik Lebaran,” ujarnya, Selasa (28/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena itu, hari ini penyidik hanya memeriksa satu orang tersangka lainnya yakni bekas Deputi Finansial BP Migas Djoko Harsono. Meski kedatangannya tidak terpantau media, Golkar membenarkan bahwa Djoko sedang menjalani pemeriksaan.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Brigadir Jenderal Victor Simanjuntak mengatakan, penyidik belum akan melakukan penahanan terhadap Djoko. "Saya kira belum perlu lah."
Sementara itu, pemeriksaan terhadap Priyono akan dilakukan setelah Victor kembali dari luar negeri untuk menjalankan tugas. Alasannya, dia sendiri akan turun tangan untuk memeriksa sang tersangka.
Selain Djoko dan Priyono, penyidik telah menetapkan satu orang tersangka lainnya, yakni pemilik lama PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) Honggo Wendratno. Saat ini Honggo masih berada di Singapura karena sakit dan harus menjalani perawatan medis di sana.
Meski tidak menyebutkan waktu tepatnya, Victor mengatakan dirinya akan kembali berangkat ke Singapura untuk memeriksa Honggo. Selain itu, saat ini juga penyidik sedang melakukan pendekatan terhadap tersangka agar mau kembali ke Indonesia.
Kemarin, Bareskrim kembali melakukan pemeriksaan terhadap bekas Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan. Dalam kasus ini, polisi mempermasalahkan ketiadaan kontrak yang memayungi penjualan kondensat bagian negara dari BP Migas oleh TPPI. Selain itu, BP Migas juga diduga menunjuk langsung TPPI meski sudah mengetahui perusahaan tersebut sedang tidak sehat.
Karena tidak ada kontrak, kerugian negara dalam kasus ini kemungkinan sebesar nilai proyeknya itu sendiri. Menurut Victor, nilai proyek ini bisa mencapai US$2 miliar.
(hel)