Jakarta, CNN Indonesia -- Profesi advokat atau pengacara kini tidak lagi bisa menutup-tutupi dugaan tindak pidana kliennya yang berusaha menyamarkan harta kekayaan dengan cara pencucian uang.
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2015 telah memasukkan profesi advokat sebagai pihak pelapor yang wajib menyerahkan laporan dugaan tindak pidana pencucian uang kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Menurut Kepala PPATK, Muhammad Yusuf, peraturan pemerintah itu dikeluarkan semata-mata untuk melindungi profesi advokat dari kejahatan di bidang ekonomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oknum tindak pidana, kata Yusuf, biasanya memanfaatkan profesi pengacara untuk merahasiakan harta kekayaan yang mereka dapat dari hasil tindak pidana.
Di sisi lain, Yusuf menilai profesi kepengacaraan tersebut memang sengaja disalahgunakan untuk menjaga kerahasiaan kliennya dari jeratan pasal pencucian uang.
"Peraturan ini sifatnya wajib dan mengikat. Mereka yang berprofesi sebagai pengacara kini wajib melapor kepada PPATK jika mendapati dugaan pencucian uang yang dilakukan kliennya," ujar Yusuf saat ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis (6/8).
Yusuf menjanjikan peraturan baru tersebut tidak bakal menganggu bisnis dan keberlangsungan hidup para advokat. Mereka tetap berhak mendapatkan fee dari kliennya yang telah menunjuk mereka sebagai kuasa hukum.
Laporan yang diserahkan advokat kepada PPATK bisa berangkat dari kecurigaan atau dugaan mereka terhadap status dan latar belakang kliennya. Mereka perlu mendalami, di antaranya, kemampuan daya beli dan penghasilan seorang klien dengan objek materi yang akan mereka beli lewat jasa pengacara.
Sebagai contoh, kata Yusuf, pengacara perlu menajamkan kecurigaan terhadap seorang pegawai negeri sipil atau pekerja berpenghasilan rendah yang meminta jasa mereka untuk membeli rumah atau saham bernilai miliaran rupiah.
Dalam hal ini, pengacara tetap berpegang teguh pada azas praduga tak bersalah, namun tetap berkewajiban untuk melapor kepada PPATK. Sisanya, PPATK akan melakukan audit dan melaporkannya kepada penegak hukum sekiranya mendapati temuan.
Sampai pada tahap itu, pengacara tetap bisa mendapatkan hak fee atau bayaran yang telah mereka terima dari kliennya. Yusuf pun menjamin PPATK bakal menjaga kerahasiaan identitas pengacara sebagai pihak pelapor.
"Jika dugaan itu dilaporkan, mereka akan mendapatkan imun dan terbebas dari tuntutan. Namun jika kewajiban dilanggar, mereka bisa turut kena sanksi administrasi dan pasal pencucian uang saat dugaan itu kemudian terbukti," kata Yusuf.
Menurut Yusuf, jeratan sanksi yang bisa menjerat pengacara adalah sangkaan pelanggaran pasal 3, Pasal 4, dan/atau pasal 10 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Maksimal ancaman hukuman pidana bisa mencapai 20 tahun penjara.
Selain advokat, profesi lainnya yang turut dilibatkan sebagai Pihak Pelapor dalam peraturan pemerintah baru itu adalah notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, dan perencana keuangan. Mereka juga memiliki kewajiban melaporkan dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan kliennya selaku pengguna jasa.
Selain profesi, peraturan baru tersebut juga berlaku bagi perusahaan, lembaga, dan/atau instansi yang bergerak di sektor (jasa) keuangan dan hukum. Selain diterapkan kepada individu, kata Yusuf, peraturan itu juga berlaku bagi instansi.
"Jadi kalau nanti ada bank yang tidak melaporkan transaksi mencurigakan, mereka juga bisa kena pasal 5 (UU No. 8 Tahun 2010)," ujar dia.
Salah satu modus yang dilakukan oknum pelaku tindak pidana dalam menyamarkan hartanya adalah dengan cara melakukan pembelian properti, saham, serta harta bergerak ataupun tidak bergerak lainnya. Mereka biasanya melakukan transaksi melalui uang tunai untuk mempersulit pelacakan dari pihak berwenang.
Berdasarkan data yang dimiliki PPATK, Yusuf mencatat, rata-rata jumlah transaksi harian tunai yang dilakukan oknum selama 2004-2012 berkisar pada angka minimum Rp 500 juta perhari. Jumlah oknumnya mencapai lebih dari 600 ribu individu.
Sementara itu, ada sekitar 2.400 perusahaan yang melakukan transaksi tunai dengan jumlah transaksi yang luar biasa fantastis. "Uangnya triliunan," kata Yusuf.
Yusuf memandang fenomena transaksi tunai dengan angka signifikan itu sebagai sebuah ketidaklaziman. Di saat ATM bertebaran di hampir penjuru kota, kata dia, masih saja ada pihak yang menggunakan sistem pembayaran uang tunai dalam jumlah besar.
Yusuf mengatakan peraturan pemerintah itu sudah mulai diberlakukan terhitung Juni 2015. Saat ini PPATK sedang dalam penjajakan diseminasi. Dia tidak menampik bakal menghadapi pro-kontra terhadap kebijakan baru tersebut. "Tapi itu wajar. Kita tidak perlu mundur," kata dia.
(meg)