Jakarta, CNN Indonesia -- Netralitas birokrasi menjadi sorotan dalam tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak yang berlangsung tahun ini. Terdapat temuan-temuan di lapangan yang menunjukkan ada keterlibatan aparatur sipil negara dan juga birokrasi secara aktif.
Direktur Eksekutif Pilkada Watch Wahyu Permana mengatakan birokrasi sangat rentan dimanfaatkan terutama oleh daerah-daerah yang memiliki calon petahana. Kondisi tersebut karena calon petahana memiliki jaringan dan berkesempatan melakukan politisasi terhadap birokrasi dan aparatur sipil negara.
"Ada potensi besar memanfaatkan birokrasi untuk memenangkan mereka (calon petahana)," kata Wahyu dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (6/8). (Baca:
Calon Tunggal Pilkada Dampak Superioritas Petahana)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wahyu mengamati modus yang umum dijumpai yakni memanfaatkan jaringan kepala desa untuk mengarahkan ke calon tertentu. Kedua, memanfaatkan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) melalui mobilisasi. Terakhir, pemanfaatan aset-aset pemerintah baik yang bergerak atau tidak serta penggunaan anggaran untuk kepentingan calon petahana.
Serupa dengan Wahyu, Kepala Bagian Analisis dan Teknis Pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Faisal Rahman mengatakan berdasarkan hasil riset di tiga daerah oleh Bawaslu yaitu Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Tengah menunjukkan ada keterlibatan birokrasi dalam tahapan pelaksanaan pilkada.
"Bawaslu melihat adanya indikasi politisasi birokrasi," kata Faisal di tempat yang sama. (Baca:
Bawaslu Temukan Mobilisasi PNS oleh Calon Petahana di Sumut)
Menurut Faisal ada upaya mobilisasi dari berbagai pihak kepada birokrasi untuk memberikan dukungan kepada calon tertentu. Hal ini dilakukan tidak hanya oleh calon petahana, tetapi juga nonpetahana.
Selain itu, terdapat penggunaan fasilitas negara seperti kantor pemerintah oleh tim sukses untuk menggelar rapat.
Ia juga mencatat salah satu bentuk mobilisasi yang dilakukan adalah dengan mengantar pasangan calon ke kantor Komisi Pemilihan Umum setempat yang terjadi di Kabupaten Maluku Utara dan Kabupaten Simalungun.
Surat Edaran Menteri PAN-RBSurat Edaran Menteri PAN-RB Nomor B/2355/M.PANRB/07/2015 tanggal 22 Juli 2015 mengatur tentang Netralitas ASN dan Larangan Penggunaan Aset Pemerintah dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak.
Berdasarkan informasi yang dilansir dari situs menpan.go.id, salah satu butir larangannya adalah aparatur sipil negara dilarang membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye, dan atau mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu, sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
Surat edaran yang dikeluarkan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi itu dinilai Wahyu Permana belum dapat berjalan secara optimal. Sebab, menurutnya, surat edaran tersebut belum banyak mengatur secara teknis terkait bentuk netralitas yang perlu dilakukan oleh birokrasi.
Hal senada juga disampaikan oleh tim ahli Kemenpan RB Indra Jaya Piliang. Ia mengatakan walau Kemenpan RB telah mengeluarkan surat edaran, namun sifatnya masih normatif sehingga birokrasi masih mudah melakukan pelanggaran yang telah dilarang.
Berkaitan dengan sanksi yang diterapkan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) bahwa jika ditemukan pelanggaran terkait hal tersebut maka akan dijatuhi hukuman disiplin. Sanksinya mulai dari penundaan kenaikan gaji, pangkat, penurunan pangkat, pembebasan dari jabatan, hingga pemberhentian baik hormat maupun tidak hormat.
Mengenai solusi dari permasalahan ini, Peneliti Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menyatakan perlu ada sinergi antara Bawaslu, Kemenpan RB, dan jajaran terkait untuk menindaklanjuti fenomena ini.
"Pegawai negeri sipil (PNS) yang memihak dapat mengganggu proses pilkada," kata dia. (Baca:
Surat Edaran KPU Soal Petahana Khusus untuk Pilkada 2015)
Sedangkan Wahyu mengusulkan untuk segera memanggil sekretaris daerah yang ada di seluruh daerah untuk mensosialisasikan dan menegaskan surat edaran tersebut beserta sanksi-sanksi yang akan dikenakan apabila ditemukan pelanggaran.
(obs)