Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno mengungkapkan pihaknya sebagai perwakilan dari pemerintah belum membicarakan soal cara penagihan ganti rugi yang harus dibayarkan oleh keluarga Presiden Republik Indonesia ke-2 Soeharto sebesar Rp 4,4 triliun.
"Nanti. Ini belum dibicarakan (cara penagihan ganti ruginya)," ujar Tedjo di Kompleks Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/8). (Baca juga:
PN Jaksel Belum Terima Salinan Putusan PK Yayasan Soeharto)
Seperti diberitakan, Mahkamah Agung memperbaiki salah ketik putusan kasasi perkara antara Pemerintah Indonesia melawan Yayasan Supersemar dan keluarga mantan Presiden Soeharto. Alhasil, keluarga Cendana berkewajiban membayar Rp 4,4 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus bermula pada 9 Juli 2007 saat Kejaksaan Agung mencium tindakan Yayasan Supersemar yang memberikan pinjaman atau penyertaan modal untuk mendapatkan keuntungan.
Kejaksaan menilai tindakan Yayasan merupakan perbuatan melawan hukum sesuai pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Gugatan pun dilayangkan atas Soeharto, Pembina Yayasan Supersemar dan Yayasan Supersemar sebagai badan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (Baca juga:
Kronologi Kasus Supersemar Rp4,4 Triliun Soeharto)
Melalui gugatan tersebut, Soeharto dan Yayasan dituduh menyalahgunakan uang Yayasan sebesar US$ 420 juta dan Rp 185 miliar plus ganti rugi imateril sebesar Rp 10 triliun.
Pengalihan dana Yayasan ke pihak lain tersebut dinilai telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976, yang mengatur tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyisihkan lima persen dari laba bersih untuk Yayasan Supersemar.
Pada 19 Februari 2009, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan Yayasan Supersemar harus membayar kerugian sebesar US$ 105.000.727,66 dan Rp 46.479.512.226, 187. MA lalu menyebutkan terdapat salah ketik putusan kasasi Pemerintah Indonesia sehingga denda yang harus dibayar sebenarnya sebesar Rp 4,4 triliun. (Baca juga:
Keluarga Soeharto Belum Tahu Harus Bayar Rp 4,4 Triliun)
(pit)