Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan penggusuran dengan menggunakan sistem paksa tidak mengindahkan standar hak azasi manusia (HAM) seperti melakukan proses musyawarah. Namun, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yakin bahwa pihaknya telah melakukan sesuatu yang benar.
Ini bukan kali pertama Ahok dituding melanggar HAM karena melakukan penggusuran. Ahok mengklaim bahkan ia sebelumnya juga pernah dilaporkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan tuduhan melanggar HAM saat penggusuran di kawasan Marunda.
"Waktu itu saya kasih percontohan sama mereka, kalau ada orang bangun rumah di atas tanahnya, pakai duitnya sendiri, terus ternyata bangunannya tidak ada izin kemudian dibongkar oleh pemerintah, itu dapat ganti rugi atau tidak? Mereka diam saja," ujar Ahok di Balai Kota, Jakarta, Kamis (27/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Ahok, justru yang melanggar HAM adalah orang-orang yang mendirikan bangunan bukan di atas lahan milik mereka sendiri. Bahkan, ia menyebut dirinya adalah gubernur yang paling baik sebab sudah mau mendirikan rusun untuk warga-warga yang dinilainya menyalahi aturan, menduduki tanah negara.
"Ada tidak gubernur yang mengurus seperti ini? Jujur saja," kata Ahok. "Ini sudah baik hati kami siapkan rusun," lanjutnya. (Baca:
Prinsip HAM Ahok terkait Kampung Pulo Dipertanyakan)
Sebelumnya, LBH Jakarta menyebut Pemprov DKI hanya menggunakan satu sistem untuk melancarkan penggusuran, yakni sistem paksa.
"Temuan yang cukup mengejutkan adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merupakan pelaku terbanyak penggusuran paksa, yaitu berjumlah 21 kasus dengan jumlah korban mencapai 2484 KK dan 358 Unit Usaha," tulis LBH Jakarta dalam Laporan Penggusuran Paksa di Wilayah DKI Jakarta pada Januari hingga Agustus 2015 yang diterima CNN Indonesia, Rabu (26/8).
LBH Jakarta juga menemukan bahwa 50 persen dari kasus-kasus penggusuran paksa meninggalkan warga dalam keadaan tanpa solusi, baik itu perihal relokasi ataupun ganti rugi. (Baca:
Ahok Siapkan Rusun di Kampung Pulo untuk Warga Bukit Duri)
Dari 30 kasus penggusuran yang dilakukan sepanjang Januari hingga Agustus 2015, LBH menemukan program normalisasi dan penertiban menjadi alasan yang paling banyak digunakan oleh Pemprov DKI. Diprediksi, aksi penggusuran pun akan terus meningkat.
LBH menemukan ada satu titik penggusuran paksa yang ditujukan untuk pembangunan waduk, 12 untuk normalisasi wilayah perairan, satu untuk taman kota, dan 16 untuk keperluan lainnya. (Baca:
Komnas HAM Kritik Pemprov DKI soal Penanganan Kampung Pulo)
Sebanyak 16 keperluan lain tersebut, dipaparkan LBH, penggusuran dilakukan di dua titik pembangunan proyek Tentara Nasional Indonesia (TNI), dua titik untuk proyek PT. Kereta Api Indonesia, satu titik untuk tol, dua titik untuk pelebaran jalan atau jalur hijau, tujuh titik untuk penertiban, pembebasan lahan dan keindahan, satu titik untuk proyek Mass Rapid Transportation (MRT), dan satu titik untuk proyek Kepolisian RI (Polri).
(obs)