Tanya Putra Munir kepada Ibunda: Kenapa Abah Dibunuh?

Gilang Fauzi | CNN Indonesia
Selasa, 08 Sep 2015 08:06 WIB
Sebelas tahun berlalu sejak Munir ditemukan tewas di udara, dalam penerbangannya ke Amsterdam, di mana ia mestinya menimba ilmu. Namun tragedi itu tak terlupa.
Suciwati, istri mendiang pejuang HAM Munir. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- "Apakah para pembunuh itu masih ingat pada tanggal ini mereka telah membunuh Munir?"

Kalimat itu terlontar dalam monolog yang dibawakan secara lirih oleh aktris Happy Salma di Cemara 6 Galeri, Menteng, Jakarta Pusat, Senin malam (7/9). Pertunjukan mini di ruangan 10 x 5 meter itu digelar memperingati 11 tahun terbunuhnya ikon pejuang hak asasi manusia Indonesia, Munir Said Thalib.

Monolog karya Seno Gumira Ajidarma itu menceritakan perjuangan istri mendiang Munir, Suciwati, yang ditinggal suami bersama dua anaknya dalam keadaan limbung.

Suciwati terpukul betul ketika anak sulungnya yang baru masuk Sekolah Dasar kala itu bertanya, "Ibu, kenapa Abah dibunuh?"

Suciwati tak bisa menjawab pertanyaan yang juga telah menjadi belati dalam batinnya.

Tak mau menyisakan hidup dalam ratapan, Suciwati bangkit dari keterpurukan. Sejak itu, dia bertekad melawan.

Suciwati kemudian mendirikan Omah Munir di Batu, Jawa Timur, yang di dalamnya berserak memorabilia soal Munir dan informasi tentang kasus-kasus yag diperjuangkan Munir. Semacam museum sederhana nan asri yang mengingatkan bahwa perjuangan Munir mesti diteruskan.

Maka peringatan 11 tahun terbunuhnya Munir menjadi semacam momentum bagi pendiri Omah Munir itu dalam ‘melawan lupa’ terhadap peristiwa nahas 7 September 2004. Ketika itu Munir terbunuh dalam pesawat pada penerbangannya ke Amsterdam, Belanda, saat akan melanjutkan studi pascasrjana bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht.

Pollycarpus Budihari Priyanto, mantan pilot Garuda Indonesia yang divonis membunuh Munir dengan arsenik, bukan nama terakhir yang dicari Suciwati. Pollycarpus kini bahkan telah melenggang bebas dari balik jeruji. Suciwati yakin masih ada dalang intelijen yang belum terungkap.

Perjuangan Suciwati dan para pejuang HAM bukan pepesan kosong. Selama tiga masa pemerintahan, mereka kerap dibuai kampanye penguasa yang mengusung slogan dukungan HAM. Hasilnya, setiap pekan pada hari Kamis, Suciwati dan kawan-kawan tetap masih harus meneriakan tuntutan di depan Istana. (Baca: Kamisan, Satu Jalan Menjaga Harapan)

Bukan hanya pengusutan kasus Munir yang mereka teriakan. Tapi juga Tragedi Trisakti, Talangsari, Semanggi, dan sederet kasus pelanggaran HAM lain yang menjadi persoalan tak kunjung tuntas. Meski begitu, Kamisan tak jua membuahkan hasil. Pemerintah senantiasa menjawabnya dalam geming. (Baca: Kamis ke-396 dan Keadilan yang Hilang)

"Luka ini akan semakin menganga dan mengancam keselamatan bangsa Indonesia. Selama pemerintah bergeming, selama itu pula kami melawan lupa," kata Suciwati.

Kini para aktivis kemanusiaan menagih janji nawacita Presiden Joko Widodo. Slogan Revolusi Mental itu dituntut dibuktikan dengan mengusut tuntas tumpukan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, termasuk menguak dalang di balik kematian Munir.

Suciwati masih ingat ketika pada tahun 2004 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kematian Munir sebagai “The test of our history". Sayangnya, kata Suciwati, 10 tahun masa pemerintahan SBY masih gagal melewati ujian sejarah tersebut.

Pengungkapan kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada akhirnya bakal menjadi tolok ukur keberhasilan pemerintahan Jokowi. Dalam hal ini, Suciwati menganggap pembiaran terhadap buruknya akuntabilitas kasus Munir tak ubahnya semacam restu terhadap pembungkaman gerakan HAM dan pembunuhan terhadap setiap warga negara yang bersikap kritis terhadap rezim penguasa.

Regenerasi Perlawanan

Perjuangan selama lebih dari satu dekade bukanlah urusan enteng. Selain tekanan dari sana-sini, konsistensi dalam bersikap merupakan perjuangan yang jauh lebih berat untuk dikompromikan. Kini ketika generasi Munir mulai dimakan usia, para aktivis HAM butuh regenerasi untuk memindahkan tongkat estafet perjuangan dalam penegakan HAM di Indonesia.

Pegiat muda Pandji Pragiwaksono mengamini bahwa tak semua generasi muda Indonesia mengenal sosok Munir. Bahkan tak sedikit yang menyangsikan peran Munir sehingga perjuangan untuk mengusut kasusnya menimbulkan pertanyaan. Di situlah peran edukasi diperlukan.

"Pahlawan itu seseorang yang rela mengobankan kenyamanannya demi membuat nyaman orang lain. Munir adalah orang tersebut," ujar Pandji.

Dalam arti lain, kata dia, Munir bisa saja memilih hidup tenang tanpa harus mencampuri urusan orang lain dan bersitegang dengan kepentingan rezim. Namun Munir tidak demikian. Peraih The Rights Livehood Award 2000 itu memilih berada di garis depan memperjuangkan pencarian orang-orang hilang.

Regenerasi perjuangan terhadap pengungkapan kasus HAM dinilai penting lantaran rezim pemerintah senantiasa membutuhkan pengawalan publik. Dalam hal ini, generasi muda perlu mengenal Munir sebagai ikon pejuang HAM sebagai jembatan bagi sekelumit tumpukan kasus HAM di Indonesia.

"Jika tongkat estafet itu tidak sampai ke tangan generasi muda, sejarah perjuangan bakal terputus dan penguasa akan semakin berkuasa," ujar Direktur Bung Hatta Anti-Corruption Award, M. Berkah Gamulya.

Generasi muda punya peran penting untuk melanjutkan perjuangan mengawal pemerintah, terutama terkait HAM. Apalagi, kata Berkah, pesatnya kemajuan zaman yang diiringi kecanggihan teknologi memungkinkan penguasa mengatur isu dan opini melalui media. Sehingga bukan tak mungkin generasi saat ini tidak sadar kebebasan berpendapatnya dikekang oleh penguasa melalui pengalihan isu.

Tentu, ujar Berkah, ceritanya akan berbeda jika Munir masih ada. Pentolan pejuang HAM itu bisa jadi tanpa harus diminta bakal pasang badan ketika ada kritik yang dibungkam. Namun kekuatan yang tak tersentuh itu telah lebih dulu membungkam Munir dengan skenario intelijen. Munir tewas di udara.

Akademisi muda Saras Dewi takjub ketika mendapati nama Munir terukir menjadi nama jalan di Belanda. Nama dia bersanding dengan ikon aktivis kemanusiaan Amerika Serikat, Marthin Luther King.

"Tapi coba tengok, kapan Munir dihargai di Indonesia? Inilah saatnya kaum muda menafsir Munir," ujar pelantun Lembayung Bali itu.

Mari melawan lupa. (agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER