Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan, persoalan internal di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) akan menjadi perhatian pemerintah menyusul wacana pembubaran sebagaimana disampaikan Gubenur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
Kalau pun salah satu kritik itu muncul lantaran IPDN identik dengan kekerasan di masa orientasi praja, kata Tjahjo, solusi praktisnya tidak berarti lantas dibubarkan. Solusinya bisa berupa pencopotan jabatan pejabat birokrasi di internal institusi.
"Praja IPDN kalau ada kekerasan, rektornya saya ganti. Gitu saja," ujar Tjahjo di Gedung DPR, Rabu (9/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tjahjo berpendapat, persoalan yang ada di IPDN tidak bisa digeneralisasi sebagai bentuk kesalahan institusi. Jika ada persoalan yang timbul akibat kesalahan individu, maka intitusi tidak bisa dicap sebagai penghasil produk oknum bermasalah.
Tjahjo tidak menampik pembenahan perlu dilakukan terutama berkaitan dengan mekanisme perekrutan calon praja. Selain harus terbuka, tindakan kekerasan selama proses perekrutan mesti dievaluasi, apalagi kalau sampai terulang memakan korban jiwa.
"Revolusi mental harus dilakukan IPDN, proses penerimaan harus
clean dan
clear, kalau ospek ada meninggal lagi, jajaran rektor (IPDN) saya ganti semua," ujar dia.
Tjahjo enggan mengomentari keinginan Gubernur Ahok yang menghendaki pembubaran IPDN. Menurt Tjahjo, keberadaan IPDN yang telah berdiri puluhan tahun itu dilindungi undang-undang sebagai institusi wadah penyaring bakal calon pegawai negeri sipil.
"Kalau Pak Ahok merasa punya kewenangan lebih, silakan tunjukan bagaimana caranya," kata Tjahjo.
IPDN resmi dibentuk pada 10 Oktober 2007 oleh Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. SBY saat itu memutuskan menggabungkan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dengan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) setelah kasus kekerasan di institusi itu terungkap.
Sementara STPDN sudah ada sejak tahun 1990 sebagai Perguruan Tinggi Kedinasan di bawah Kementerian Dalam Negeri. Kasus kekerasan yang terjadi di kampus yang terletak di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, ini sempat dibukukan oleh staf pengajar IPDN Inu Kencana Syafiie berjudul “IPDN Undercover” yang terbit tahun 2007.
Sebelum diulas dalam “IPDN Undercover”, skandal kekerasan di IPDN mulai dibeberkan Inu pada 2003. Pengungkapan kasus kekerasan itu bermula dari kematian praja Wahyu Hidayat yang dilaporkan Inu ke pihak kepolisian dan Kementerian Dalam Negeri.
Laporan Inu disambut amarah pejabat STPDN dan ancaman dari beberapa mahasiswa. Saat daftar nama mahasiswa yang diduga membunuh Wahyu Hidayat masuk dalam daftar wisudawan, Inu menghubungi SBY lewat Juru Bicara Kepresidenan kala itu, Andi Mallarangeng.
Sebanyak 10 orang yang telah dilantik SBY dalam acara wisuda kala itu dicabut gelar akademiknya. Mereka ditetapkan sebagai tersangka dugaan pembunuhan Wahyu Hidayat.
Pengadilan Negeri Sumedang yang mengadili perkara pembunuhan itu memvonis 10 bulan penjara kepada delapan terpidana dan tujuh bulan bagi dua terpidana lainnya.
Kasus penganiayaan berujung kematian lain yang mencuat di kampus IPDN adalah tewasnya praja asal Sulawesi, Cliff Muntu, tahun 2007. Terdakwa dugaan pembunuhan terhadap Cliff saat itu divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Sumedang.
(rdk)