Jakarta, CNN Indonesia -- Di balik polemik yang beberapa kali terjadi antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi, ternyata lembaga hukum kepolisian mempelajari perkara dugaan korupsi dari KPK. Saat ini, sekitar 80 persen anggota Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Polri menyandang status sebagai bekas penyelidik dan penyidik komisi antikorupsi.
Fakta tersebut diutarakan Kepala Subdirektorat I Tipikor Bareskrim Polri, Komisaris Besar Adi Deriyan, pada sebuah diskusi yang digagas Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam di Jakarta, Rabu (9/9).
Deriyan memaparkan, secara pribadi dia mengakui pengalaman menjadi penyidik KPK sangat membantunya dalam mengungkap kasus dugaan korupsi. Ia menganalogikan, sebelum bertugas di KPK, dirinya terbiasa mengungkap kasus pidana dengan pentungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, semakin banyak pukulan yang ia daratkan di tubuh terduga pelaku tindak pidana, maka semakin besar pula peluangnya menuntaskan sebuah perkara.
Cara menangani kasus secara konvensional itu mulai ditinggalkan sejak tahun 2004. Selama enam tahun dia bekerja sebagai penyidik Polri yang diperbantukan di komisi antirasuah.
"Sekarang gaya, cara dan konstruksi hukum yang kepolisian gunakan untuk menangani kasus korupsi sama seperti yang digunakan KPK. Yang berbeda cuma gajinya," ujar Adi.
Perwira kepolisian yang pernah menjadi Kepala Kepolisian Resor Malang itu mengatakan, standar kesejahteraan yang dia peroleh di Polri dan KPK memang berbeda.
"Saya hidup nyaman, gembira, bisa nabung karena gaji saya di sana (KPK) Rp 20 juta. Saya dapat asuransi kesehatan, ke mana-mana naik mobil dinas, makan dibayarin, naik pesawat apa saja boleh," tutur Adi.
Pernyataan Adi itu keluar untuk menjawab tuntutan publik bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari para penegak hukum. "Sejahterakan saya seperti saya dulu di KPK," katanya.
Social Engineering dan Ubah Pola Pikir
Berpengalaman menangani kasus korupsi selama 11 tahun memunculkan keprihatinan bagi Adi. Dia menilai, kasus korupsi akan terus berulang di lembaga yang sama jika seluruh sistem yang memberikan ruang untuk penyalahgunaan kewenangan dan uang negara belum diganti atau dihapus.
Dia mencontohkan, kasus dugaan korupsi pada proyek pengadaan
uninterruptible power supply serta perkara pengadaan
printer dan
scanner di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya menggunakan metode yang sama dengan kasus korupsi pengadaan bus Transjakarta koridor I tahun 2005 silam.
"Artinya, pengungkapan korupsi tadi tidak ada dampaknya. Kami tidak punya sistem. Kalau pernah ditangani, harusnya tidak ada lagi korupsi di sana. Sistem di lembaga itu tidak diteliti dan diperiksa," tutur Adi.
Menurutnya, persoalan ini dapat diatasi dalam konteks pencegahan. Dia mengatakan, tidak seperti KPK, Polri tidak mempunyai kewenangan dalam untuk melakukan pencegahan korupsi.
"Yang masuk ke sektor ini seharusnya bagian pencegahan, melakukan
social engineering dan mengubah pola pikir," katanya.
Forum tersebut dihadiri mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD; anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho; sosiolog Imam Prasodjo dan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Erwin Moeslimin.
(meg)