WAWANCARA KHUSUS

Pengacara Negara: Ahli Waris Soeharto Harus Ikut Bayar Denda

Rosmiyati Dewi Kandi | CNN Indonesia
Selasa, 15 Sep 2015 17:08 WIB
CNN Indonesia menemui Yoseph Suardi Sabda, seorang jaksa pengacara negara yang memulai tuntutan perdata terhadap yayasan dan keluarga Soeharto, Agustus lalu.
Presiden Kedua RI Soeharto. (Detik Foto/Dikhy Sasra)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tepat hari ini 17 tahun yang lalu, Jaksa Agung kala itu, Andi Muhammad Ghalib, ditunjuk sebagai Ketua Tim Investigasi Kekayaan Presiden Kedua Republik Indonesia Soeharto. Sebagai Jaksa Pengacara Negara, Jaksa Agung memang menjadi tangan pemerintah untuk menuntut seseorang, korporasi, hingga yayasan yang dianggap merugikan negara.

Pengusutan perkara kekayaan Soeharto terus bergulir hingga Kejaksaan Agung menyebut ada indikasi unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan mendiang Soeharto. Penyidikan penyalahgunaan sejumlah dana yayasan milik Soeharto dilakukan pada periode Desember 1998-Januari 1999.

Namun karena alasan sakit, persoalan pidana yang membelenggu Soeharto di akhir kekuasaannya itu membuat perkara pidana dihentikan. Kasus dugaan pidana penyalahgunaan penggunaan dana tujuh yayasan Soeharto pun dialihkan menjadi perkara perdata dengan menunjuk Yoseph Suardi Sabda sebagai Ketua Jaksa Pengacara Negara dalam kasus itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagaimana lika-liku Yoseph membawa perkara Soeharto ke ranah perdata? Cerita apa saja yang menarik selama kasus itu diproses? Bagaimana latar belakang tuntutan tersebut? Berikut wawancara Rosmiyati Dewi Kandi dari CNN Indonesia dengan Yoseph, Agustus lalu, di Jakarta:

Bagaimana awalnya sampai kasus Yayasan Supersemar dituntut secara perdata?
Awalnya kasus ini dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus di Kejaksaan Agung. Tetapi karena Soeharto sakit waktu sidang di Departemen Pertanian, Jaksa Agung Abdulrahman Saleh menerbitkan penghentian penuntutan perkara. Kasus pidananya lantas dibatalkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Penghentian penuntutan sah. Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) terbit tahun 2007. Lantas kami mengajukan gugatan Juli 2007 lewat Jaksa Agung Muda Perdata Tata Usaha Negara (Jamdatun).

Bagaimana anda melihat pergeseran tuntutan Yayasan Supersemar dari pidana ke perdata?
Lebih menguntungkan perdata sebenarnya. Karena buktinya bukti formal kalau untuk perdata, tergugat tidak perlu hadir. Kalau pidana, terdakwa harus hadir.

Mengapa Yayasan Supersemar, dari tujuh yayasan yang disoroti publik saat itu?
Saat itu, gugatan perdata Yayasan Supersemar memang dijadikan pilot project karena waktu itu terdakwa (Soeharto) disebut sakit permanen. Dalam penyelesaian perkara, kami lebih mendahulukan yang kasusnya lebih mudah dan diperkirakan bisa lebih cepat diselesaikan. Maka dipilihlah kasus Yayasan Supersemar.

Kendala apa saja yang Anda hadapi dalam mengusut perkara perdata Supersemar?
Kendala yang paling terasa adalah karena ini merupakan perkara pertama, tidak ada preseden di mana yayasan bisa dihukum karena menyalahgunakan keuangan. Maka itu kami juga menyeratakan agar pengurus yayasan bisa dituntut.

Bagaimana dengan peraturan tentang yayasan? Adakah hal itu juga menjadi kendala?
Ada beberapa poin yang sebenarnya menjadi kendala kami dalam menuntut Yayasan Supersemar dalam perkara perdata saat itu. Pertama, tidak ada preseden sebelumnya. Terkait peraturan, jadi kita tahu bahwa Undang-Undang tentang Yayasan baru terbit tahun 2001 (UU Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan). Sementara kasus yang terjadi, dalam hal ini Yayasan Supersemar, itu semua kejadian sebelum tahun 2001.

Para pengacara keluarga Soeharto juga menyoroti surat kuasa. Karena surat kuasa negara diberikan kepada Jaksa Agung, sehingga mereka menyoalkan ketika saya dan teman-teman di Jamdatun yang menjadi penuntut kasus Supersemar.

Kami juga mengalami kendala saat para pengurus Supersemar menyebutkan bahwa uang yang ada di yayasan adalah uang yayasan itu sendiri dan bukan uang pemerintah. Sehingga Kejaksaan Agung tidak bisa menuntut perkara ini.

Saat Pak Soeharto meninggal, kami juga harus menghadapi argumentasi bahwa gugatan harus dicabut.

Apa yang Anda dan tim lakukan menghadapi kendala itu?
Pada prinsipnya kami membuat argumentasi hukum yang bisa diterima. Karena tidak ada kasus sebelumnya, tidak ada undang-undang, kami memakai dalil sendiri.

Terkait putusan MA yang memvonis Yayasan Supersemar untuk membayar denda, tanggapan Anda?
Sebenarnya ini menarik karena kasus ini bisa sampai tingkat peninjauan kembali (PK). Tetapi menurut saya keliru ketika dikatakan hanya yayasan saja yang diminta untuk membayar, karena seharusnya orangnya dalam hal ini ahli waris Soeharto, sebagaimana tuntutan Kejaksaan Agung, seharusnya juga diminta ganti rugi. Tetapi yang tertinggi sudah memutuskan, mau bagaimana?

Bagaimana tanggapan keluarga saat tahu Anda ditunjuk untuk menjadi Ketua Pengacara Negara menggugat kasus yayasan Soeharto?
Keluarga saya tidak ada masalah, santai saja. Karena pekerjaan saya ini memang sudah sejak awal saya tahu memiliki risiko. Tapi tentu saya berhati-hati. Menurut saya, kalau memang takut jangan jadi jaksa, jadi pengacara saja atau pengawai biro hukum perusahaan.

Atas putusan MA yang menuntut yayasan untuk membayar, menurut Anda apakah Supersemar bisa membayar sebesar Rp 4,4 triliun?
Saya ragu kalau yang dituntut membayar hanya yayasan sendiri. Karena, berapa sih uang yayasan? Berapa asetnya? Secara nonyuridis, memang kalau yayasan punya tagihan bisa disita. Bisa menuntut dari bank-bank yang pernah menggunakan uang Yayasan Supersemar yang sampai sekarang tidak jelas. Tetapi itu harus dicari lagi, diusut lagi. (sip)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER