Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, memvonis bekas Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Udar Pristono, dengan hukuman lima tahun bui. Udar terbukti mendesak karyawan perusahaan peserta tender proyek pengerjaan halte busway, PT Jati Galih Semesta, Dedi Rustandi, untuk membeli mobil dinas pelat merah.
"Menjatuhkan pidana selama lima tahun dan denda Rp 250 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti kurungan 5 bulan," kata Hakim Ketua Artha Theresia saat sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (23/9).
Kisah bermula dari pertemuan pada bulan September 2012. Udar meminta Dedi untuk membeli mobil dinas merek Toyota Kijanh LSX tahun 2002 yang saat itu dalam proses lelang aset. Udar meminta Dedi membayar senilai Rp 100 juta untuk mobil pelat merah tersebut. Padahal, harga lelang sekitar Rp 22,4 juta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas permintaan tersebut, Dedi menyampaikan persoalan tersebut kepada bosnya, Yeddie Kuswandy. Namun Yeddy tidak berminat. Selanjutnya, Udar melalui pegawainya bernama Mirza Ariandi mengubungi Yeddie agar bersedua membeli mobil tersebut, tapi Yeddie tetap tidak bersedia membeli mobil.
Kendati demikian, Udar ngotot mengirimkan mobil bernomor polisi B 2180 PQ ke kantor PT Jati Galih Semesta. Lalu Dedi menjumpai Udar dan Udar meminta Dedi memembayar mobil seharga Rp 100 juta. Duit pun diminta untuk disetor melalui rekening anak Udar, Aldi Pradana. Lantaran tak kuasa menolak, Yeddie menyuruh Dedi memberikan duit kepada Udar senilai Rp 100 juta melalui transfer.
Menurut hakim, Udar secara tidak langsung menerima uang Rp 77,5 juta. Yeddie dan Dedi tak berani menolak permintaan Udar karena khawatir kedudukan Udar sebagai Pengguna Anggaran (PA) dapat mempengaruhi proses lelang proyek perbaikan halte TransJakarta.
Tak berselang lama, PT Jati Galih dinyatakan memenangkan tender. Yeddie sebagai Direktur Utama bersama dengan Bernard Hutajulu selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pun menandatangani surrat kontrak pekerjaan perbaikan koridor senilai Rp 8,3 miliar.
Udar dijerat Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Udar tak terima vonis tersebut namun enggan berkomentar. Sementara kuasa hukumnya, Tonin Tachta Singarimbun mengatakan vonis hakim tak adil. "Jadi orang membeli mobil Pak Pristono, karena pikirannya kepala dinas makanya dipenjarakan 5 tahun. Jelas dipersidangan si pembeli bilang dia beli karena harganya murah Rp 100 juta bukan karena jabatan," kata Tonin usai sidang.
Sementara itu, dakwaan menerima gratifikasi mencapai Rp 6,5 miliar sejak tahun 2010 hingga tahun 2014, dinilai hakim tak terbukti. Duit tersebut disimpan dalam sebuah rekening di Bank Mandiri Cabang Cideng, Jakarta Pusat, sebesar Rp 4,643 miliar dan Bank BCA cabang yang sama, sebanyak Rp 1,875 miliar.
Menurut dakwaan jaksa, Udar memerintahkan stafnya, Suwandi untuk menyetor duit tunai pada kedua bank tersebut untuk ditabung. Pada tahun 2010, duit disetor selama bulan Agustus hingga Desember dengan jumlah Rp 423,5 juta. Selanjutnya, pada 2011, duit disetor dari bulan Januari hingga Desember dengan total Rp 1,301 miliar.
Lebih lanjut, penyetoran duit tetap dilakukan pada 2012 sebanyak Rp 1,6 miliar sejak Januari hingga Desember. Setahun berikutnya, penyetoran masih rutin dilakukan hingga akhir tahun yang nilainya mencapai Rp 2,56 miliar. Pada 2014, Udar tetap menerima duit tersebut dan disetorkannya pada dua rekening yang berbeda sekitar Rp 594 juta.
Jumlah tersebut, menurut Jaksa, tak sesuai dengan profil Udar selaku Pegawai Negeri Sipil. Duit penghasilan sebagai pegawai negeri dan pengguna anggaran selama tahun 2010 yakni sebesar Rp 75 juta. Pada 2011, Udar menerima duit gaji Rp 80,4 juta ditambah tunjangan kinerja daerah Rp 22,08 juta. Tahun berikutnya, penghasilan Udar yakni Rp 86,5 juta ditambah dengan tunjangan senilai Rp 25,9 juta.
Pada 2014, duit yang dikantungi Udar dari pemerintah daerah gaji Rp 90,3 juta ditambah tunjangan Rp 25,9 juta. Selanjutnya, Udar menerima Rp 90,3 juta dan tunjangan Rp 25,9 juta selama 2014.
Namun seluruh dakwaan terkait gratifikasi di dua bank tidak terbukti. Usai sidang, jaksa Victor Antonius akan mengaku akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. "Kita nanti akan mengajukan upaya hukum banding. Putusan majelis hakim kita hormati. Tapi penuntut umum kan sudah jelas bahwa kita membuktikan di fakta sidang," kata Victor usai sidang di Pengadilan Tipikor.
(obs)