Jakarta, CNN Indonesia -- Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menunggu Polda Metro Jaya melengkapi berkas penyidikan empat tersangka suap izin impor. Kepala Kejati DKI Jakarta Adi Toegarisman mengatakan penyidik Polda belum dapat mendetailkan rumusan pidana dan barang bukti untuk keempat tersangka.
Empat orang tersebut adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Partogi Pangaribuan, Musafah, Imam Ariatna, dan Eryatie Kuwandi. Mulanya, berkas tersebut telah diterima pada awal September lalu oleh Pihak Kejati dari Polda. Namun, berkas tersebut dikembalikan.
"Kami mengembalikan ke penyidik Polda dengan petunjuk untuk melengkapi rumusan peristiwa pidana secara materiil dan barang bukti berkisar penyuapan dan gratifikasi. Dikembalikan sekitar tanggal 18 September," kata Adi di kantornya, Jumat (25/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara berkas penyidikan satu orang lainnya, Direktur PT Rekondisi Abadi Jaya, Hendra Sudjana, dinyatakan lengkap oleh pihak Kejati DKI. Hari ini, Kejati menerima tersangka bersama barang bukti kasusnya. (Baca:
Kasus Bongkar Muat, Berkas Penyidikan Satu Tersangka Lengkap)
Adi menjelaskan, kasus bermula saat Hendra ini ingin menambah kuota izin impor mesin bekas atau barang modal bukan baru dalam Surat Persetujuan Impor (SPI). Apabila sesuai aturan, perubahan harus disertakan dengan surat izin dari Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan.
"Dia (HS) tidak pakai itu tapi minta bantuan kepada PP (Partogi Pangaribuan) dan berlanjut ke bawahan termasuk IA (Imam Ariatna)," kata Adi.
Adi mengungkapkan, setelah SPI diubah oleh pihak kementerian, Hendra diduga menyerahkan duit melalui Musafah sebesar Rp 32 juta kepada Partogi. Kejaksaan tinggi menilai duit tersebut bentuk suap.
"Tidak ada kerugian negara," katanya.
Hendra dikenai Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 12B atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Kasus ini dipopulerkan oleh Polda Metro Jaya sebagai kasus bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok atau
dwelling time. Namun, pihak Kejati DKI Jakarta belum menemukan rumusan pidana di proses
dwelling time itu sendiri. Tindak pidana justru ditemukan dalam suap izin impor.
(obs)