Penarikan Majalah Kampus Edisi 1965 Dilaporkan ke Komnas HAM

Aulia Bintang Pratama | CNN Indonesia
Kamis, 22 Okt 2015 17:05 WIB
Majalah Lentera edisi "Salatiga Kota Merah" yang terbit pada Jumat (9/10), dianggap menjadi penyebab diinterogasinya sejumlah awak lembaga pers mahasiswa.
Koordinator Sub Divisi Mediasi Komnas HAM Anshori Sinungan memperlihatkan salah satu halaman Majalah Lentera yang memuat gambar palu arit di dalamnya, Kamis (22/10). (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama)
Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga masyarakat sipil melaporkan insiden penarikan majalah pers kampus yang terjadi di Universitas Kristen Satya wacana di Salatiga kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Lembaga yang digawangi Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Pers, serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan tersebut menyerahkan laporannya itu kepada perwakilan Komnas HAM.

Presidium Alumni Aktivis Pers Mahasiswa Agung Sedayu mengungkapkan laporan kali ini dibuat karena penarikan majalah pers telah melanggar hak masyarakat untuk menyampaikan informasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami mengecam keras upaya sejumlah pihak yang menarik bahkan menginterogasi sejumlah awak lembaga pers mahasiwa. Interogasi tersebut dilakukan oleh anggota Polres Salatiga," kata Agung saat ditemui di kantor Komnas HAM, Kamis (22/10).

Agung mengungkapkan seluruh kaidah jurnalistik telah digunakan oleh redaksi pers kampus sebelum menerbitkan majalah bernama Lentera yang judul laporan utamanya adalah "Salatiga Kota Merah" tersebut.

Maka dari itu, pelarangan peredaran Majalah Lentera juga dianggap telah melanggar hak masyarakat untuk memperoleh informasi dan karya jurnalistik dari para jurnalis LPM Majalah Lentera.

Laporan Agung dan kawan-kawannya diterima langsung oleh Koordinator Sub Divisi Mediasi Komnas HAM Anshori Sinungan. Menurut Anshori, Komnas HAM akan melakukan investigasi terlebih dahulu sebelum menentukan sikap terkait pelaporan tersebut.

Dia berpendapat bahwa pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 masyarakat dijamin dan diperbolehkan menyampaikan pendapat secara lisam maupun tulisan.

"Kita akan lihat apakah ada pelanggaran HAM atau tidak," ujarnya.

Majalah Lentera dengan Edisi "Salatiga Kota Merah" diketahui terbit pada Jumat (9/10) lalu. Saat itu, majalah mempublikasikan karya jurnalistik investigasi dan jurnalisme presisi terkait dampak peristiwa Gerakan 30 September (G30S) bagi Kota Salatiga.

Para jurnalis Majalah tersebut melakukan penelusuran terhadap Walikota Salatiga Bakri Wahab yang diduga merupakan anggota Partai Komunis Indonesia.

Selain itu, mereka juga mengupas peristiwa pembantaian simpatisan dan terduga PKI di Salatiga dan sekitarnya dengan melakukan investigasi di beberapa titik pembantaian.

Majalah yang dibanderol seharga Rp 15 ribu itu dijual sebanyak 500 eksemplar kepada masyarakat Salatiga dengan cara menitipkan di sejumlah kafe. Tak hanya itu, majalah juga disebarluaskan ke instansi pemerintahan di Salatiga serta organisasi masyarakat di Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.

Sepekan setelah terbit, pemimpin redaksi Majalah Lentera Bima Satria Putra dipanggil oleh Rektor Universitas Kristen Satya Wacana serta jajaran universitas lainnya. Hasil pembicaraan saat itu, dikabarkan bahwa redaksi harus menarik semua majalah yang tersisa di agen-agen.

Bahkan, polisi dikabarkan secara sepihak telah menarik majalah tersebut dari peredaran dengan alasan menciptakan situasi kondusif pada masyarakat.

"Pada Minggu (18/10) pemimpin umum LPM Lentera Arista Ayu Nanda, pemimpin redaksi Bima Satria Putra, dan bendahara Septi Dwi Astuti diinterogasi di Mapolres Salatiga," kata Agung.

(meg)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER