Jakarta, CNN Indonesia -- Philips Jusario Vermonte, Ketua Departemen Politik dan Hubungan Internasional
Center for Strategic and International Studies, menyesalkan sikap pemerintah yang menarik Majalah Lentara edisi “Salatiga Kota Merah”, dan menyarankan pembatalan acara sesi 1965 pada
Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2015 yang akan dihelat 28 Oktober-1 November.
Menurut Vermonte, pada era demokrasi seperti saat ini, pemerintah tak perlu menghalangi publik mendapatkan informasi.
"Itu berlebihan. Informasi bagian dari kebebasan pendapat. (Diskusi) digelar di forum sastra dan merupakan hasil dari pemikiran. Harus diubah cara pandang terhadap sejarah,” kata Vermonte di Jakarta, Minggu (25/10).
Apalagi, ujar Vermonte, saat ini publik sudah semakin terdidik. Selain itu, internet dan kecanggihan teknologi mempermudah masyarakat dalam mendapatkan informasi apa pun, termasuk mengenai sejarah peristiwa 1965.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seharusnya pemerintah memfasilitasi dan memberikan pemahaman. Sekarang bukan eranya untuk melarang-larang apalagi menggunakan aparat keamanan," kata dia.
Vermonte yang baru tiba dari Jerman untuk menghadiri pameran buku terbesar di dunia,
Frankfurt Book Fair 2015, lantas membandingkan UWRF dengan
Frankurt Book Fair yang di dalamnya Indonesia menjadi tamu kehormatan dan dapat membahas persoalan 1965 dengan terbuka.
Pada
Frankfurt Book Fair, ujar Vermonte, penulis diberi kebebasan membahas satu topik. Di sana, dua penulis perempuan Indonesia, Leila S. Chudori dan Laksmi Pamuntjak, mendiskusikan novel karya mereka,
Pulang dan
Amba, yang berlatar peristiwa 1965.
“Itulah yang dibutuhkan di Indonesia. Ini bangsa yang mestinya dewasa, yang harusnya berbagai topik bisa didiskusikan agar ada ruang publik yang sehat,” kata Vermonte.
Hal serupa dikatakan oleh Eka Kurniawan, salah satu penulis yang mestinya mengisi diskusi panel
“1965, Writing On” di UWRF.
“Ini sangat menyedihkan, menjengkelkan, dan membuat frustasi. Setelah 17 tahun reformasi, bangsa ini sekarang mundur ke belakang menuju Orde Baru dan pengekangan kebebasan berpendapat,” kata Eka.
Senada, sutradara film
The Look of Silence (Senyap) yang batal diputar di UWRF, Joshua Oppenheimer, juga menyatakan kecewa dengan pembatalan seluruh sesi 1965 di UWRF. Ia berkata, ini adalah salah satu pukulan terkeras bagi kebebasan berpendapat di Indonesia.
"Sangat menjengkelkan, dan saya khawatir tindakan ini adalah upaya militer dan kekuatan bayangannya untuk memperoleh kembali kekuasaan, sebuah upaya untuk mengintimidasi dan membungkam publik. Saya harap saya salah," kata Oppenheimer.
Kepala Kepolisian Resor Gianyar, Ajun Komisaris Besar Farman, menyebut pembatalan sesi 1965 tersebut dilakukan oleh panitia, bukan Kepolisian. Polisi, kata dia, hanya memberi masukan kepada panitia, bukan mengeluarkan instruksi pelarangan.
“Tidak ada intervensi dan larangan. Kami sifatnya mengimbau, mengingatkan. Ini kan festival sastra dan budaya yang sudah berjalan 12 tahun. Tapi kenapa baru sekarang mau mengangkat masalah PKI. Sastranya mau mengarah ke mana?” kata Farman.
Panitia UWRF mengatakan diskusi soal 1965 sesungguhnya dilakukan untuk menghormati para korban. Namun panitia akhirnya memilih untuk “Mengalah demi kelangsungan Festival ke depannya.”
Sebelum gonjang-ganjing UWRF di itu, di Salatiga, Majalah Lentera terbitan pers mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana yang memuat investigasi dampak peristiwa Gerakan 30 September 1965 terhadap Kota Salatiga ditarik dari peredaran dan dilarang diterbitkan lagi.