Jakarta, CNN Indonesia -- Surat Edaran (SE) Kapolri Jenderal Badrodin Haiti No. SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian menuai pro-kontra. Edaran aturan tentang hate speech itu dianggap perlu dikaji lebih dalam sebelum betul-betul diterapkan.
Pimpinan DPR, Agus Hermanto, menilai surat edaran yang telah diteken Kapolri Badrodin itu mesti diselaraskan terlebih dulu dengan aturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, kata Agus, surat edaran tersebut perlu disesuaikan dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektonik, atau UU ITE.
Menurut Agus, payung hukum tertinggi dalam tata aturan perundang-undangan adalah Undang-Undang Dasar dan undang-undang. Sehingga surat edaran tentang penanganan ujaran kebencian itu dianggap perlu disinkronisasi dengan undang-undang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tentu kita perlu lihat dan pelajari dulu sehingga semua ini bisa membawa manfaat terbaik. Surat edaran ini juga baru beberapa hari keluarnya, tentu para pakar juga sudah mempelajari," kata Agus kepada wartawan di Gedung DPR, Senin (2/11).
Pimpinan Komisi Hukum DPR, Desmond Junaidi Mahesa, mempertanyakan kepada siapa surat edaran dari Kapolri itu ditujukan. Alasannya, aturan tersebut dinilai membatasi kebebasan demokrasi warga negara Indonesia.
Menurut Desmond, aturan tentang
hate speech tersebut belum jelas lantaran tidak menegaskan batasan apakah penanganan ujaran kebencian itu berlaku untuk polemik silat lidah antar-masyarakat, atau justru berkenaan dengan antisipasi kebencian dari masyarakat terhadap pemerintah.
"Jadi ini ditujukan pada siapa, apakah semua warga negara dikenakan atau hanya ketakutan rezim Jokowi atas kritikan saat ini. Kalau tujuannya agar tidak ada masyarakat yang kritik pemerintah, maka itu sudah kebablasan," kata Desmond.
Meski demikian, Anggota Komisi III Arsul Sani menilai positif surat edaran Kapolri. Dia menganggap ruang penegakan hukum yang dipilih Polri merupakan langkah preventif-persuasif dalam menyikapi peristiwa atau kejadian yang mengandung dugaan adanya ujaran kebencian.
Dalam SE tersebut, kata Arsul, Kapolri memerintahkan jajarannya untuk mengamati, mencermati hal-hal yang patut diduga mengarah pada hate speech.
Apabila kemudian nantinya dianggap telah terjadi, lanjut dia, maka Polri terlebih dahulu harus bersikap persuasif dengan menyadarkan terduga pelaku dan/atau mendamaikan antara terduga pelaku dengan korbannya.
"Langkah seerti itu sebenarnya sebuah bentuk penerapan keadilan restoratif (
restorative justice) yang harus dikedepankan sebagai model penegakan hukum ke depan," kata Arsul
Bagaimanapun, Arsul menegaskan masyarakat perlu mengawal konsistensi penerapan langkah-langkah preventif-persuasif yang hendak diupayakan Polri dalam kasus nyata.
Dia pun menyatakan masyarakat tidak perlu khawatir mengekspresikan kebebasan berpendapatnya selama berpedoman pada norma kesantunan
"Mengkritisi tidak harus dengan ujaran yang kasar dan menyakitkan pihak lain," kata Arsul.
(meg)