Menteri PPPA: Kebiri Merupakan Pengobatan, Bukan Hukuman

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Senin, 02 Nov 2015 18:45 WIB
Pelaku kejahatan seksual, menurut Yohana Yambise, nantinya bakal menjalankan rehabilitasi. Kebiri pun diharap dapat dilihat sebagai bentuk pengobatan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise menilai langkah kebiri kepada pelaku kejahatan seksual sebagai bentuk pengobatan. (Dok.Detikcom/Lamhot Aritonang)
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, mengatakan tambahan perlakuan kebiri bagi pelaku kekerasan seksual sebaiknya dipandang sebagai treatment (pengobatan) dibanding menyebutnya sebagai hukuman.

"Ada banyak data dan referensi yang menjelaskan bahwa kebiri dilaksanakan untuk pengobatan agar penjahat seksual berubah, bukan sebagai hukuman," kata Yohana dalam konferensi pers di Kementerian PPPA, Jakarta, Senin (2/11).

Dia mengatakan hukuman kebiri dipertimbangkan pemerintah sebagai bentuk perhatian bagi pemulihan korban. Si pelaku, menurut Yohana, difokuskan untuk menjalankan rehabilitasi agar saat kembali ke masyarakat tidak mengulangi perbuatannya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yohana menilai, bila hukuman kebiri diterapkan sebagai hukuman, maka tidak menutup kemungkinan akan muncul rasa marah dan dendam dalam diri pelaku.

"Nanti mungkin larinya pakai alat tajam atau apa saja untuk melampiaskan rasa marahnya. Efek itu bisa saja terjadi," katanya.

Di sisi lain, Deputi Bidang PUG Bidang Polsoskum Kementerian PPPA Heru Prasetyo Kasidi mengatakan ada dua jenis kebiri, yaitu kebiri secara kimiawi dan operasi pembuangan buah zakar (testis).

Hukuman tambahan yang dicanangkan pemerintah merupakan kebiri secara kimiawi, yaitu dengan pemberian hormon antitestosteron. Hormon ini akan menurunkan produksi testosteron dalam tubuh laki-laki.

"Namun, sifatnya tidak permanen, yaitu sekitar tiga bulan. Begitu efek obatnya habis, harus suntik ulang," kata Heru.

Sementara, kebiri dengan cara operasi pembuangan testis bersifat permanen. Akibatnya, dorongan seksual pun menurun drastis meski tidak menutup kemungkinan akan muncul lagi bila terpapar hal-hal yang membangkitkan dorongan seksual.

"Di negara lain, kebiri permanen dilakukan secara sukarela dengan tujuan agar dorongan seksualnya tidak lagi berlebihan," kata Heru.

Meski kekerasan seksual terhadap anak kian meningkat, Yohana mengatakan pihaknya belum berniat mendeklarasikan status darurat. Alasannya, dia mengatakan akan melakukan kajian terlebih dulu.

"Jangan hanya ada beberapa kasus lalu dikatakan situasi darurat. Kami sedang kaji dulu, apa betul sekarang dalam kondisi darurat," katanya.

Hasil Survei Nasional Kekerasan Terhadap Anak menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan seksual terhadap korban yang berusia 18 hingga 24 tahun sebesar 6,36 persen laki-laki dan 6,28 persen perempuan.

Sementara itu, pada anak berumur 13 hingga 17 tahun sebesar 8,3 persen laki-laki dan 4,11 persen perempuan.

Berdasarkan survei itu pula, ditemukan bahwa pelaku kekerasan seksual pada kelompok usia 18-24 tahun, di antaranya: pacar (39,4 persen), teman (38,2 persen), dan orang asing (11,4 persen).

Sementara, pelaku kekerasan seksual pada anak berusia 13 hingga 17 tahun mayoritas adalah orang yang dikenal dekat, seperti teman dan pacar.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER