Penembakan di Cibinong Momentum Revisi UU Pengadilan Militer

CNN Indonesia
Kamis, 05 Nov 2015 06:50 WIB
Perdebatan terkait UU Peradilan Militer berkutat pada impunitas dan perlakuan istimewa yang diberikan kepada anggota TNI yang melakukan tindak pidana.
Ilustrasi menembak dengan pistol (Thinkstock/Ivan Kmit)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah kelompok masyarakat sipil yang bergerak di kajian pertahanan dan keamanan menilai, kasus penembakan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia terhadap seorang pengendara sepeda motor di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Selasa (3/11) kemarin, merupakan momentum merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer.

Pasal 9 ayat (1) huruf a pada beleid itu menyatakan, seseorang yang berstatus sebagai prajurit harus diadili oleh pengadilan militer ketika melakukan tindak pidana.

"Undang-undang itu tidak memungkinkan peradilan umum mengadili anggota TNI yang melakukan tindak pidana.  Peraturan itu merujuk kewenangan peradilan militer pada subjek hukum pelaku dan bukan pada objek kasus," ujar peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Wahyudi Djafar, kepada CNN Indonesia, Rabu (4/11).
Serupa Wahyudi, Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti mengatakan penembakan di Cibinong berpotensi mengakibatkan kengerian pada masyarakat. "Itu murni kriminal. Pelaku seharusnya diproses di peradilan umum," katanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perdebatan terkait Undang-Undang Peradilan Militer berkutat pada impunitas dan perlakuan istimewa yang kerap kali diberikan kepada anggota TNI yang melakukan tindak pidana.

Pada pernyataan tertulis mereka awal September lalu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan menyebut peradilan militer tidak transparan dan sulit diakses oleh kalangan non-militer.
Ketika itu, KontraS mendesak TNI menyerahkan kasus penembakan yang diduga dilakukan anggota Batalyon Infanteri 754 dan Komando Distrik Militer 1710/Mimika terhadap warga sipil di Timika ke peradilan umum. Penembakan itu terjadi 28 Agustus 2015.

"Peradilan militer hanya menjadi panggung sandiwara dan alat impunitas dalam proses penegakan hukum terhadap anggota TNI yang terbukti melakukan tindak pidana," ucap Koordinator Kontras, Haris Azhar ketika itu.

Ia berpendapat, ketiadaan proses hukum yang adil pada akhirnya menghasilkan preseden buruk atas proses akuntabilitas di institusi TNI.

Dalam dua tahun terakhir, dua tindak pidana yang melibatkan anggota TNI terjadi di wilayah Jabodetabek. Kasus yang belum lama terjadi melibatkan anggota Intai Amfibi Pasukan Marinir II TNI Angkatan Laut, Praka Joko Lestanto.
Mei silam, ia menusuk aktivis lingkungan Jopi Peranginangin hingga tewas. Kejadian itu terjadi dini hari, di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

Hingga awal September Kontras memberi catatan, setelah kasus itu ditangani Polisi Militer TNI AL, belum ada perkembangan penyidikan yang disampaikan kepada keluarga korban maupun publik.

Penyidik juga hanya menetapkan satu pelaku meski saksi-saksi menyatakan pelaku lebih dari satu orang.

Kasus kedua terjadi tahun lalu. Saat itu, Pratu Heri Ardiansyah membakar seorang juru parkir hingga tewas di sekitar Monumen Nasional, Jakarta Pusat.

Berdasarkan putusan Pengadilan Militer II 08 Jakarta bernomor 39-K/PM II-08/AD/II/2015, Heri divonis pidana penjara selama empat tahun. Vonis tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengaku berencana untuk menerbitkan surat telegram agar sidang militer yang berhubungan tindak pidana anggota TNI terhadap masyarakat sipil dilakukan secara terbuka.

"Kemudian saya akan membuatkan ST bahwa sekarang kejadian-kejadian TNI, yang berkaitan dengan masyarakat, sidang militernya terbuka," ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu siang.

Dengan demikian, imbuh Gatot, masyarakat dapat mengetahui proses penegakan hukum dari kasus tersebut. "Karena kalau tidak, seolah-olah TNI pada persidangan nanti akan membuat keringanan," kata dia.

Selain itu, menurut Gatot, dengan mengikuti jalannya persidangan, masyarakat bisa menilai bahwa akan ada hukuman-hukuman tambahan, termasuk pemecatan.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER