Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membangun 17 pulau baru di pesisir Jakarta Utara, tepatnya di sekitar Kelurahan Kapuk Muara dan Kelurahan Pluto, membuat nelayan dan pemilik perahu kayu gusar.
Ada kekhawatiran penghasilan mereka terancam berkurang. Bahkan tidak sedikit yang yakin harus pulang ke kampung halaman karena kehilangan mata pencaharian.
CNN Indonesia bertemu dengan Pulung, pemilik perahu kayu yang biasa mendapatkan penghasilan setelah menyeberangkan penumpang dari dan menuju kawasan pesisir utara Jakarta seperti Kepulauan Seribu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pulung berasal dari Subang, Jawa Barat. Dia mengaku telah mencari nafkah dengan satu perahu kecil itu sejak awal 1990-an.
Pulung mematok tarif Rp25 ribu bagi setiap penumpang. Ia berkata, penghasilannya tak tentu. Jika sedang beruntung, saat akhir pekan atau musim liburan, dia bisa mengumpulkan uang hingga Rp300 ribu per hari.
Sayangnya, Pulung tidak mengangkut penumpang dan menyandarkan perahu di sekitar Pelabuhan Muara Angke. Ia lebih memilih kawasan sekitar Balai Teknologi dan Penangkapan Ikan milik Dinas Kelautan dan Pertanian.
Kawasan yang dihuni perahu-perahu milik Pulung dan 11 koleganya itu berjarak tidak sampai 500 meter dari Apartemen Green Bay milik Grup Agung Podomoro. Jika ditarik garis lurus, jaraknya tak lebih dari 2 kilometer dari hunian vertikal mewah, Reggata, yang dikembangkan PT Intiland Development Tbk.
Belum lama ini, Pulung mendengar rencana reklamasi di sekitar pantai utara Jakarta. Ia menuturkan, pengelola Apartemen Green Bay menawarkan uang Rp1 juta sebagai ganti rugi. Namun ia menggeleng tentang kepastian ganti rugi itu.
Jika proyek reklamasi Pulau G yang dikerjakan PT Muara Wisesa Samudera selesai, Pulung dan 11 kawannya tak dapat lagi menyandarkan perahu mereka di sisi barat Apartemen Green Bay.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Muhammad Tahir mengatakan, puluhan nelayan di utara Jakarta juga terancam merugi akibat proyek reklamasi.
"Banyak jaring nelayan hilang tertimbun urukan reklamasi. Selain itu juga terjadi pendangkalan di muara sungai sehingga nelayan tidak bisa melaut pada saat air surut," ujarnya kepada CNN Indonesia.
Tahir bertutur, hasil tangkapan para nelayan di pesisir utara Jakarta berkurang karena pengurukan pulau buatan menyebabkan air keruh. "Ikannya sudah tidak ada lagi," kata Tahir.
Mewakili lima kelompok nelayan tradisional, Tahir memaparkan, sebelum proyek reklamasi digelar, pendapatan para pencari ikan setiap hari berkisar antara Rp200 ribu hingga Rp300 ribu. Namun kini para nelayan merasa kesulitan bahkan untuk mendapatkan uang Rp25 ribu per hari.
Bersama Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, KNTI menggugat Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2.238 Tahun 2014 ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Surat tersebut yang memberikan izin reklamasi pantai Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudera, perusahaan yang masuk jejaring Grup Agung Podomoro.
September lalu, Sekretaris Perusahaan Agung Podomoro, Justini Omas, mengatakan reklamasi Pulau G akan dimulai akhir tahun ini dan ditargetkan selesai pada 2018.
"Jika sesuai proyeksi, setelah pulau jadi, maka habis itu pembangunan. Kemungkinan September 2018 selesai, mudah-mudahan lebih cepat. Targetnya bisa selesai dalam 36 bulan,” ucapnya.
Tak Lolos AMDALPro dan kontra reklamasi di pantai utara Jakarta sebenarnya telah bergulir jauh sebelum akhir tahun ini. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan misalnya, telah meminta pemerintah pusat membatalkan megaproyek tersebut.
Melalui siaran persnya, kementerian yang dipimpin Siti Nurbaya Bakar itu menyatakan proyek reklamasi di pantai utara Jakarta tidak lolos seleksi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
Selain berpotensi memiskinkan nelayan, KLHK menyatakan reklamasi itu akan meningkatkan potensi dan intensitas banjir di Jakarta.
Proyek yang membutuhkan bahan urukan sebanyak 330 juta meter kubik itu juga akan menyebabkan kerusakan pantai dari daerah Losari, Indramayu hingga kawasan Pandeglang, Banten.
Pada tahun 2003, KLHK meminta Presiden Megawati Soekarnoputri membatalkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Ketika masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sudirman Saad berkata, Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mewajibkan pengembang mengantongi izin lokasi dan AMDAL.
Dua syarat yang menunjukan rencana reklamasi di pantai utara Jakarta itu tidak akan merusak lingkungan tidak pernah diterbitkan KLHK.
Menteri Lingkungan Hidup era Kabinet Gotong Royong, Nabiek Makarim, ketika itu justru mengeluarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Lingkungan Rencana Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta.
Sayang, pelarangan secara legal itu berakhir di tangan Mahkamah Agung. Berdasarkan putusan bernomor 12/PKTUN/2011, tiga hakim agung, yaitu Ahmad Sukardja, Supandi dan Yulius menyatakan keputusan menteri Nabiel tersebut tidak sah.
Induk kekuasaan kehakiman Indonesia itu memenangkan gugatan empat petinggi perusahaan yang berkepentingan dengan reklamasi di pesisir utara Jakarta.
Mereka adalah Direktur Utama PT Jakarta Propertindo Ongki Sukasah, Dirut PT Pembangunan Jaya Ancol Jahja Riabudi, anggota direksi PT Taman Harapan Indah Richard Hartono dan Suhendro Prabowo, serta Direktur PT Bakti Bangun Era Mulia Tjondro Indria Lemonta.
(rdk)