Jakarta, CNN Indonesia -- Sastrawan Martin Aleida menyebut rezim Orde Baru yang memenjarakannya tanpa bukti sahih sebagai rezim kebohongan. Ia mengaku tidak bisa melupakan maupun memaafkan perlakuan rezim Orba.
Martin yang hadir sebagai saksi dalam persidangan
International People’s Tribunal (IPT) menceritakan saat dia dibui di Kamp Konsentrasi Operasi Kalong, Jakarta, pada awal 1966 bersama lima teman lainnya, termasuk Putu Oka Sukanta dan T Iskandar AS, orang-orang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
“Iskandar dan saya adalah wartawan dan penulis fiksi,” kata Martin kepada CNN Indonesia, Rabu (11/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perintah penjeblosan Martin ke penjara diberikan Jenderal Abdul Haris Nasution. Pasca tragedi G30S 1965, Soeharto dan Nasution menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai otak gerakan berdarah tersebut.
Sastrawan yang menulis cerita pendek
Surat Nurlan Daulay kepada Junjungannya pada Juni 2015 itu menyebut hal ini sebagai tindakan absurd. “Masuk akalkah sebuah konspirasi menggulingkan pemerintahan melibatkan jutaan orang?” kata Martin.
Sidang Rakyat 1965 memasuki hari kedua hari ini. Martin bakal bersaksi ihwal penyiksaan. Dalam cerpen yang sama, ia mengisahkan bagaimana Mula Naibaho, pemimpin redaksi Harian Rakyat, mengalami penyiksaan. Oknum penyiksa menyetrum karib Martin tersebut dengan listrik. “Disuruh buka baju dan belakangnya (punggung) hancur digerus ekor pari kering,” kata dia.
Di Kamp Konsentrasi Kalong, Martin dipenjara bersama 300 orang tahanan lainnya. Kamp tersebut mempunyai lokasi di Kodim 0501 di Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat. Jumlah tahanan, kata dia, selalu bertambah tiap hari. Sebagian disebar ke penjara di Salemba, Tangerang, Cipinang.
Martin menanggapi suara minor yang mengklaim bahwa acara Sidang Rakyat 1965 tidak layak digelar di Den Haag. Menurutnya, semua orang yang menuntut keadilan selalu dituduh mendendam.
“Jutaan orang dibunuh dipenjarakan kok seenaknya dilupakan. Bangsa jenis apa yang mau kita bangun ini? Kebohongan demi kebohongan oleh Orde Baru,” katanya.
Sidang Rakyat 1965 bakal digelar hingga Jumat pekan ini. Kemarin, majelis persidangan mendengarkan tuduhan pembunuhan dan perbudakan dengan menghadirkan saksi-saksi.
“Wahai otak, hati, lidahku, marilah kita berbuat yang terbaik untuk menyumbang sedikit terang pada upaya orang-orang yang berani dan bijaksana yang telah mengulurkan tangan kepada kami korban. Doakan aku, kawan,” kata Martin.