Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menggelar dialog dengan Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan Organisasi Angkutan Darat (Organda) dalam rangka mengantisipasi dampak yang ditimbulkan bila angkutan umum dijadikan sarana untuk berunjuk rasa.
Direktur Lantas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Risyapudin mengatakan, setiap elemen pemerintah harus ikut bertanggung jawab mengantisipasi dampak dari aksi unjuk rasa yang kerap terjadi di DKI Jakarta.
"Jadi Ketua Organda wajib memberikan pengetahuan kepada semua drivernya. Jika kendaraannya disewa untuk melakukan aksi, alangkah baiknya si driver tidak mudah terintimidasi oleh para pendemo untuk melakukan tindakan melawan hukum," ujar Risyapudin di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (12/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Risyapudin menuturkan, pengemudi kendaraan umum yang disewa oleh para pengunjuk rasa harus juga mengambil sikap jika menemukan pelanggaran atau aksi-aksi provokatif yang terjadi di dalam kendaraan tersebut.
"
Driver-driver yang kendaraannya disewa memiliki kewajiban untuk menurunkan pendemo yang bersikap arogan, agar saat melakukan aksi unjuk rasa berjalan tertib," ujar Risyapudin.
Sementara itu, Kepala Bagian Rencana dan Administrasi (Renmin) Intelejen Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Irfan Prawira menyatakan ada pihak-pihak yang untungkan dalam setiap aksi unjuk rasa, termasuk para pemilik jasa transportasi umum seperti Kopaja atau Metro Mini.
"Bayangkan, satu bus itu disewa Rp500 ribu. Ya kalikan saja dengan jumlah aksi yang ada," ujar Irfan.
Irfan mengatakan dalam setahun lebih dari dua ribu aksi unjuk rasa yang terjadi di DKI Jakarta. Sehingga, jika diakumulasi, setiap pemilik usaha transportasi mendapat keuntungan bila para pengunjuk rasa menggunakan kendaraan tersebut.
"Sebanyak 2.856 per tahun, 284 perbulan, dan rata-rata 10 aksi perhari di Jakarta ini. Tentu bagi pengusaha transportasi ini adalah suatu proyek. Wah duit nih, kalau dikelola dengan baik pasti untung," ujar Irfan.
(rdk)