Bos Media Akui Terima Rp2 Miliar untuk Pencitraan Jero Wacik

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Senin, 23 Nov 2015 20:16 WIB
Dari kesepakatan biaya pencitraan sebesar Rp3 miliar, baru dibayarkan Rp2 miliar. Dana tersebut diklaim bukan dari dana APBN.
Mantan Menteri ESDM Jero Wacik meninggalkan ruangan seusai menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (22/9). (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemimpin Redaksi Indopos Muhammad Noer Sadono alias Don Kardono mengaku menerima uang Rp2 miliar dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Uang tersebut digunakan untuk biaya pencitraan Jero Wacik saat menjabat sebagai Menteri ESDM era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam kesaksiannya di sidang untuk terdakwa Jero Wacik, Don mengatakan, awalnya permintaan pencitraan itu datang dari Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Waryono Karno. Kemudian Indopos mengajukan draf proposal ke Kementerian ESDM.

Setelah melakukan negosiasi, disepakati biaya pencitraan dipatok sebesar Rp3 miliar. Namun pembayaran baru dilakukan Rp2 miliar.

"Kami diminta Pak Waryono Karno untuk membantu pecintraan atau mengemas berita positif untuk Pak Jero Wacik," ujar Don.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berkali-kali Don mengatakan, dana pencitraan itu bukan diambil dari APBN. Dia memastikan hal itu dari pernyataan Waryono yang menyebut hal itu secara langsung. "Ini bukan dana dari negara, tapi nonbujeter. Ini business to business," jelas Don.

Rencananya dana sebesar itu akan didistribusikan untuk pemberitaan di tiga media, yaitu 50 persen untuk Indopos, dan sisanya masing-masing untuk Jawa Pos dan Rakyat Merdeka. "Itu grup kami," katanya.

Don meneken kontrak tersebut pada 19 Januari 2012. Kontrak berlaku selama setahun. Namun baru tiga bulan berlalu, proyek itu diputus. Don mengatakan, pihak kementerian tidak bisa dikonfirmasi setelah itu.

"Kami tidak tahu harus bagaimana, dilanjutkan atau tidak, menggantung sampai sekarang," katanya.

Selama transaksi pembayaran Rp2 miliar, Don mengaku baru menerima bukti kuitansi dua kali. Masing-masing Rp250 juta. Sementara sisanya diserahkan tanpa kuitansi. Sisa transaksi itu dilakukan secara langsung dan melalui rekening Indopos.

"Karena itu dana nonbujeter, kami tidak terlalu memikirkan hal itu (kuitansi)," katanya.

Pencitraan Disebut Smart Reporting

Don menyebut proyek pencitraan itu dengan istilah smart reporting. Istilah itu dimaknai Don sebagai reportase yang memberi nuansa positif terhadap pihak yang memberi order, dalam hal ini kementerian ESDM.

"Saya membuat draf smart reporting, tujuannya sama untuk pencitraan," katanya.

Proyek pencitraan itu bertepatan dengan adanya rencana kenaikan harga bahan bakar minyak. Saat momen ini, berita tentang reaksi penolakan masyarakat menjadi sorotan media.

Don mengambil sudut pandang lain. Dia menyoroti sisi positif dari kenaikan harga BBM. Salah satunya, beban negara semakin membengkak jika harga BBM tidak dinaikkan. Dalam seminggu, Don mengatakan, menerbitkan antara dua hingga tiga berita.

"Goal kami, publik menjadi tenang, nyaman, dan memahami dengan detail, karena itu kami namakan smart reporting," jelas Don.

Dia menilai media saat ini sebagai sebuah industri, bukan pers perjuangan seperti era 1945. Karena itu agar media tetap hidup, lanjutnya, pemberitaan tidak melulu menyuarakan kritik. Pemberitaan bisa dilakukan dengan cara yang lebih kreatif, katanya.

"Kita memberikan input yang positif, itu adalah salah satu mazhab kami. Bahwa tidak semua media harus menyerang," kata Don. (sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER