Jakarta, CNN Indonesia -- Para ulama, santri, dan petani menolak pembangunan pabrik air minum kemasan di wilayah Cadasari, Pandeglang, Banten. Pembangunan tersebut dinilai menimbun makam leluhur setempat. Warga juga khawatir kehilangan enam sumber mata air.
Ketua NU Kabupaten Serang Martin Syarkowi mengatakan, PT. Tirta Fresindo Jaya berusaha mendirikan pabrik yang memproduksi air minuman ringan. Di lingkungan itu berdiri lima pesantren.
Di tempat yang sama, ada beberapa makam keramat yang dianggap kuburan nenek moyang warga setempat. Salah satu makam telah ditimbun untuk memuluskan pembangunan pabrik itu. Syarkowi meyakini, sejumlah makam keramat yang ada di sana merupakan makam keluarga residen pertama di Banten.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di situ ada makam keramat Ki Demong yang ditimbun, orang pertama di sana. Semua ulama dan santri menolak (pembangunan pabrik)," ujar Syarkowi kepada CNN Indonesia, Kamis (26/11).
Selain itu, lokasi pembangunan juga memiliki nilai sejarah yang kuat bagi masyarakat. Menurut Syarkowi, di sana merupakan tempat singgah para pejuang pemberontakan petani Banten terhadap penjajah Belanda.
Penolakan itu bukan soal penimbunan makam keramat semata. Sumber mata air yang menjadi kehidupan warga pun hilang demi pembangunan pabrik. Akibatnya, warga kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari dan mengairi sawah.
"Kondisi sekarang mata air hilang tertimbun, sawah produktif ditimbun, masyarakat mulai kekurangan air," ujar Syarkowi.
Sejak itu warga menggunakan air dari rembesan mata air yang ditimbun. "Waktu itu besar sumbernya, waktu ditimbun hanya rembesan air, sekarang dari sisa-sisa itu saja," keluh Syarkowi.
Enam sumber mata air yang ditimbun itu sekurangnya memenuhi kebutuhan warga di lima Kebupaten Pandeglang dan Serang. Sawah seluas 180 hektar juga terancam kekurangan air.
Biasanya, sejumlah sawah di sana mampu memproduksi hasil bumi sebanyak tiga kali dalam setahun. Namun pada musim kemarau lalu, dampak kekeringan sangat dirasakan petani. Padahal sebelumnya diakui Syarkowi, tidak pernah terjadi kekeringan meskipun dilanda kemarau panjang.
Warga juga cemas di musim hujan kali ini. Mereka khawatir banjir dan longsor akan mudah terjadi. Lantaran posisi penimbunan mata air lebih tinggi sekitar 2 meter dari lokasi pemukiman penduduk dan sejumlah pesantren.
Persoalan di Cadasi muncul sejak 30 Januari 2014. Ketika itu Badan Pelayanan Perizinan Terpadu memberikan izin lokasi kepada PT Tirta Fresindo Jaya untuk usaha pendirian pabrik yang memproduksi air minuman ringan.
Perizinan itu dijadikan dasar oleh perusahaan untuk melakukan tindakan ekstraktif. Padahal izin lain, sebagaimana dijelaskan dalam diktum kedua angka 10 dan 14, belum dimiliki pihak perusahaan. Saat ini, kata Syarkowi, perusahaan telah melakukan pengeboran air.
Proses penguasaan tanah oleh perusahaan dinilai penuh intimidasi. Syarkowi menjelaskan, tanah itu dibeli perusahaan dari masyarakat dengan cara mengelabuhi dan mengintimidasi warga.
"Masyarakat kecil ditakuti, kalau enggak dijual nanti dikurung, dikucilkan, airnya akan diambil, terpaksa masyarakat menjual," tutur Syarkowi.
Selama ini warga telah menemui bupati untuk melaporkan masalah itu. Mereka meminta agar sumber mata air dikembalikan lagi. Bupati merespons dengan menerbitkan surat penghentian investasi. Namun sumber mata air hingga kini belum juga dikembalikan.
Warga juga melaporkan perkara ini ke DPRD Banten. Hasilnya, menurut Syarkowi, unsur pimpinan DPRD mendukung penolakan warga terhadap pendirian pabrik tersebut.
Warga juga telah melakukan aksi demonstrasi berkali-kali. Mereka menuntut agar pembangunan pabrik tersebut ditutup secara permanen. Selain itu, pihak terkait juga diproses secara hukum, baik pemerintah daerah yang mengeluarkan izin maupun perusahaan yang telah melakukan perusakan lingkungan.
"Kami menuntut agar sumber air itu dikembalikan seperti semula dan menutup secara permanen (pabrik), kalau mereka memaksa berarti berhadapan dengan masyarakat," tegasnya.
Direktur Advokasi Walhi, Mukri Friatna mengatakan investor telah melakukan pelanggaran peraturan perundangan karena beroperasi tanpa prosedur.
Hal itu merujuk pada Perda Nomor 3 Tahun 2011 tentang RTRW Pandeglang, di antaranya pasal 31 ayat (2) huruf a dijelakan bahwa Kecamatan Cadasari merupakan kawasan resapan air, pasal 35 ayat (4) huruf a sebagai kawasan lindung geologi atas mata air, pasal 39 ayat (6) huruf a sebagai kawasan pertanian berkelanjutan. Dan sebagai zona konservasi air bawah tanah cekungan Serang-Tanggerang.
"Pemkab Pandeglang meminta perusahaan menghentikan kegiatan. Sekarang ada oknum alat negara yang dipakai perusahaan untuk intimidasi," kata Mukri.
Demi menghentikan kegaduhan yang berkepanjangan itu, mereka meminta pemerintah menghentikan aktifitas rencana pembangunan pabrik secara permanen
(sur)