Tiga Dugaan Kejanggalan Kasus JIS Menurut KontraS

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Selasa, 01 Des 2015 17:40 WIB
Kejanggalan tersebut antara lain sejak proses penangkapan, para tersangka mengalami praktik penyiksaan guna mendapatkan pengakuan dan penetapan tersangka.
Istri Neil Bentleman memberikan semangat pada suaminya saat akan menjalani sidang pembacaan putusan atau vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (2/4). (CNN Indonesia/ Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) mengemukakan tiga pelanggaran dalam kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan petugas kebersihan dan guru Jakarta Intercultural School (sebelumnya bernama Jakarta International School).

Hal ini merupakan hasil eksaminasi putusan pengadilan atas kasus tersebut yang dilakukan oleh KontraS dan MaPPI sejak Juni 2015. Eksaminasi ini dilakukan karena keluarga tersangka melakukan pengaduan terkait adanya dugaan penyiksaan dan rekayasa kasus selama proses penyelidikan terhadap para tersangka.
Kepala Divisi Pembelaan Hak-hak Sipil dan Politik KontraS Putri Kanesia menyatakan tiga pelanggaran yang ditemukan, di antaranya pelanggaran terhadap hukum formil, tidak terpenuhinya hukum materiil, dan tidak terlindunginya kepentingan anak.

"Diketahui bahwa sejak proses penangkapan, para tersangka mengalami praktik penyiksaan guna mendapatkan pengakuan serta adanya pelanggaran prosedur dalam penetapan tersangka," kata Putri saat konferensi pers di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (1/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Putri juga mengatakan bahwa penetapan tersangka terhadap guru JIS juga tampak sangat dipaksakan karena sumirnya tuduhan-tuduhan terhadap keduanya. KontraS juga menilai bukti pendukung lemah serta proses rekonstruksi menyalahi aturan karena si anak yang merupakan korban diarahkan oleh ibunya dan aparat kepolisian.
"Selain itu, kami juga menemukan bahwa pasal yang didakwakan kepada para terdakwa tidak kuat. Keterangan ahli maupun hasil visum yang membuktikan adanya kekerasan seksual pun diragukan karena ada fakta lainnya yang muncul tetapi tidak pernah dijadikan pertimbangan oleh penuntut maupun majelis hakim," katanya.

Lebih lanjut, Putri mengatakan hakim cenderung tidak netral dan independen dalam memutus perkara ini karena terbawa sentimen emosi publik yang menyatakan tersangka telah melakukan kesalahan yang dituduhkan.

"Kasus ini sudah direkayasa oleh kepolisian. Para tersangka dipaksa mengakui tindakan yang dituduhkan kepada mereka. Peradilan yang tidak adil ini juga berarti absennya perlindungan terhadap anak," katanya.
Di sisi lain, peneliti MaPPI Fachrizal Afandi yang juga merupakan eksaminator kasus ini berpendapat peran ibu si anak sangat mendominasi. Oleh karena itu, ia meragukan keaslian keterangan korban.

"Kematian salah satu tersangka juga harus menjadi perhatian. Bagaimana mungkin bisa ada tahanan yang meninggal? Belum ada pertanggungjawaban polisi soal itu," katanya.

Adapun, Koordinator KontraS Haris Azhar meragukan bahwa kasus kekerasan seksual di JIS benar-benar terjadi. Pasalnya, Haris melihat ada banyak kejanggalan dalam kasus tersebut.

"Dalam kasus ini, ada sejumlah motif yang patut dicurigai. Ada saksi yang tidak memenuhi standar hukum acara, dan meragukan kualitasnya," katanya.

Ia menambahkan, "Akibatnya, jika benar MAK jadi korban tindak pelecehan seksual, proses hukum yang sudah berjalan tetap tidak bisa mendapatkan pelaku sebenarnya. Ada dugaan fundamental kalau tidak ada tindak pidana tersebut." (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER