Jakarta, CNN Indonesia -- Awak media yang bertugas di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi tak pernah tahu kapan penyidik senior Novel Baswedan bakal keluar dari Gedung KPK, Jumat (4/12). Sejak tiba di markas antirasuah, Novel tak menunjukkan batang hidung sebab dia memilih masuk melalui pintu samping, tanpa keluar dari mobil yang mengantarnya.
Dua jam berselang, perhatian wartawan terusik dengan keberadaan pria berkepala plontos yang keluar dari pintu samping gedung dan menjurus ke tempat parkir KPK. Ketika dia membalikkan badan untuk mengambil sepeda motor, dengan jaket hitam, ternyata ia Novel Baswedan.
Sontak para wartawan yang berada di pelataran Gedung KPK lari berhamburan menuju tempat parkir. Usaha Novel untuk 'kabur diam-diam' gagal. Ibarat gerombolan semut mendapati gula, laju motor Novel pun tersendat dikerubungi wartawan.
Tak bisa berkutik mendapati hadangan wartawan, Novel memilih berdamai dan meladeni permintaan wartawan yang mendesak dirinya meluangkan waktu memberikan keterangan. Dia lantas menggelar 'konferensi pers' dadakan di tempat parkir KPK, tanpa pernah turun dari sepeda motor yang ditungganginya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Novel mengawali pernyataannya dengan membeberkan kronologis peristiwa panggilan acara pelimpahan berkas perkara kasusnya yang berujung pada penahanan di Bengkulu. Penahanan itu pula yang dianggap Novel tidak semestinya terjadi.
Menurut Novel, upaya penahanan sedianya sudah tidak lagi diperlukan karena kepentingan penyidikan kasusnya sudah selesai. Kesediaan Novel memenuhi panggilan Bareskrim Mabes Polri kemarin semata untuk koperatif mengikuti permintaan penyidik dalam rangka pelimpahan perkara ke jaksa penuntut.
Namun yang terjadi kemudian Novel diterbangkan ke Bengkulu. Novel diberitahu akan dibawa ke Kejaksaan Negeri Bengkulu untuk mengurus proses pelimpahan. Sesampainya di sana, Novel malah di bawa ke Kepolisian Daerah Bengkulu.
"Di sana saya cuma menunggu, tidak ada kegiatan apapun cuma dipersilakan duduk dan tidak diperbolehkan keluar ruangan," kata Novel.
Novel mengasumsikan perlakuan yang menimpa dirinya kala itu sebagai upaya penahanan. Meski ada surat perintah penahanan, ujar dia, tapi tidak dilaksanakan dalam berita acara.
"Saya tidak tahu masalahnya apa, yang jelas memang sempat tertahan sampai malam, setelah itu baru sekitar jam 11 malam saya bisa meninggalkan Polda Bengkulu," kata Novel.
"Memang penyidik menyampaikan penangguhan penahanan tapi disampaikan kemarin secara formal saya tidak dilakukan penahanan, walaupun secara fisik saya dilarang keluar. Jadi Anda bisa artikan sendiri secara fakta bisa jadi saya ditahan, tapi secara dokumen saya tidak dilakukan penahanan. Itu yang perlu saya sampaikan," lanjuta Novel.
Bagaimanapun, Novel menyimpulkan pihak kepolisian telah semena-mena menggunakan kewenangannya. Sebab urusan pelimpahan seharusnya tidak dimanfaatkan untuk melakukan upaya penahanan.
Kepolisian menjerat Novel dengan sangkaan penganiayaan seorang tersangka pencuri sarang walet di Bengkulu. Kasus yang dituduhkan pada Novel itu terjadi pada 2004 saat ia masih menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Kepolisian Resor Bengkulu.
Kontroversi mencuat terkait penetapan tersangka Novel. Alasannya, polisi menjerat Novel saat menangani kasus korupsi simulator SIM yang menjerat bekas Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Dalam kasus ini, Djoko diduga menerima suap dari pemenang tender sebesar Rp2 miliar.
Kasus Novel sempat dihentikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meredakan tensi antara Polri dan KPK. Namun, belakangan kasus ini kembali dibuka lantaran sudah hampir kadaluarsa.
(pit)