Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan DPR Junimart Girsang mengatakan jajarannya belum maksimal menangani perkara etik anggota Dewan, terutama saat menangani kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden oleh Setya Novanto yang kini telah mundur dari jabatan Ketua DPR.
Dalam forum DKPP Outlook 2016, Junimart kepada Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie menceritakan pengalaman dan keluhannya menangani perkara etik anggota Dewan.
"Berat memang memakai jubah merah putih itu. MKD belum siap. Kami ada di sana, tapi sebagian dari kami tidak paham etika," ujar Junimart di Jakarta, Senin (28/12). Padahal tugas utama MKD menangani perkara etik.
Politikus PDIP itu bahkan berpendapat anggota MKD tak independen dalam menangani perkara. Penanganan kasus di MKD ia nilai sarat kepentingan. Ini terlihat ketika sejumlah partai mengganti anggotanya di MKD saat memproses kasus Setya Novanto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu dari 10 partai politik yang ada di DPR, hanya Gerindra, PKS, dan Hanura yang tidak mengganti anggotanya di MKD.
"Kami (MKD) di sana berdasarkan perintah. Bisa lihat di TV,
last minutes anggota bisa diganti. Kenapa? Karena tidak turut perintah," kata Junimart.
Junimart mengatakan kerap tergelitik melihat laporan-laporan yang masuk ke MKD, misalnya soal dugaan kekerasan terhadap pembantu rumah tangga oleh anggota Dewan, hingga tak dibayarnya biaya jahit jas oleh anggota DPR.
Berdasarkan tata beracara, MKD bisa menerima laporan dari seluruh masyarakat yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran etika anggota DPR.
"Sekarang anggota tidak berani lagi sakiti pembantu. Banyak positifnya, tetapi menggelikan. Mahkamah Dewan juga mengurusi jas yang tidak dibayar," ucap Junimart.
MKD pun menerima keluhan dari daerah pemilihan atas pandangan etik perkara Setya Novanto.
“Saya dapat SMS dari kampung, bertanya kenapa saya kasih pelanggaran sedang, tidak berat. Menyesal katanya memilih saya," ucap Junimart.
Saat sidang akhir perkara Setya, Junimart memang memutuskan Setya melakukan pelanggaran etika sedang. Keputusan serupa diberikan sembilan anggota MKD lainnya. Sedangkan tujuh anggota MKD lainnya menilai Setya melakukan pelanggaran etika berat.
Berdasarkan Pasal 21 Kode Etik DPR, konsekuensi pelanggaran sedang oleh anggota DPR adalah pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan DPR atau pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan dewan. Sementara konsekuensi pelanggaran berat adalah pencopotan status keanggotaan Dewan.
Namun untuk dicopot dari anggota DPR, MKD perlu membentuk panel untuk melakukan pembahasan lebih lanjut. Panel ini akan bekerja selama 90 hari dan hasilnya dibawa ke rapat paripurna.
Jika nantinya rapat paripurna tak setuju Setya Novanto bersalah, maka status bersalah Setya bisa gugur meski MKD memutus ia bersalah.
"Artinya putusan (Setya bersalah) itu akan jadi banci. Beda dengan pelanggaran sedang yang akan langsung (membuatnya) dicopot dari jabatan dan dieksekusi hari itu juga," kata Junimart.
(agk)