Jakarta, CNN Indonesia -- Di tengah ancaman pengusiran, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menolak meninggalkan tempat tinggalnya di Srimenanti, Sungailiat, Bangka. Hari ini merupakan batas akhir waktu yang diberikan Bupati Bangka kepada pengikut Ahmadiyah untuk angkat kaki dari rumahnya sendiri.
Juru Bicara Pengurus Besar JAI Yendra Budiana menegaskan, pihaknya tidak mau dipindah ke tempat yang telah disediakan pemerintah setempat. Bagi Yendra, pengusiran kali ini telah direncanakan sebelumnya oleh Pemerintah Kabupaten Bangka.
"Kami menyatakan tetap bertahan di tempat tinggal kami, tetapi ada pihak tertentu yang terus mengintimidasi dan memaksa mengusir. Apa yang terjadi hari ini bagian dari proses yang telah didesain oleh Bupati," kata Yendra usai menggelar konferensi pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Jumat (5/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yendra menambahkan, meskipun evakuasi bukan pilihan yang diinginkan kelompoknya, mereka tetap akan menaati standar operasi prosedur yang dilakukan kepolisian setempat. Hal itu dilakukan sebagai wujud warga negara yang taat hukum.
"Anggota JAI sebagai muslim yang cinta damai dan anti kekerasan dengan motto 'Cinta untuk semua, Kebencian tidak untuk siapa pun' sebagaimana diajarkan nabi kami yang mulia Nabi Muhammad SAW dan sebagai bagian dari warga negara yang selalu taat pada hukum, kami selalu terbuka pada setiap langkah baik yang ingin dilakukan pemerintah," terang Yendra.
Di lokasi itu terdapat 20 warga Ahmadiyah yang terancam diusir oleh Bupati. Yendra khawatir pengusiran serupa juga dilakukan terhadap 62 orang warga Ahmadiyah yang tinggal di Bangka.
"Itu pasti akan merembet ke daerah yang lain karena sebelumnya sudah dilakukan proses intimidasi terhadap JAI untuk diminta keluar dari Bangka secara keseluruhan," ujar Yendra.
Sebelum pengusiran hari ini, kata Yendra, pengikut Ahmadiyah mendapat berbagai intimidasi. Selain diancam diusir dari tempat tinggalnya, mereka juga menerima ancaman kekerasan, ancaman terhadap anak, serta pelemparan ke rumah-rumah warga Ahmadiyah.
Proses pengusiran ini berawal dari pertemuan 14 Desember 2015. Saat itu Bupati Bangka dan JAI mempersoalkan keberadaan Ahmadiyah di Bangka. Menurut Yendra, Bupati menuding JAI melakukan pelanggaran di daerahnya.
Pelanggaran yang dimaksud yaitu JAI telah melaksanakan ajaran Islam, seperti pemotongan hewaan qurban dan membagikannya kepada yang berhak, serta membagikan zakat fitrah kepada fakir miskin dan janda.
Pertemuan itu diakhiri dengan pernyataan sepihak dari Bupati Bangka yang meminta JAI keluar dari Bangka dengan alasan meresahkan warga dan melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri.
Yendra mengatakan, pihaknya mengingatkan kembali bahwa SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah yang sebenarnya tidak ada pelarangan ibadah dan organisasi JAI, telah salah dipahami oleh pemerintah daerah.
Pembenaran pemaksaan, penyesatan, dan pengusiran kelompok keagamaan oleh pemerintah dilakukan atas perbedaan tafsir atau keyakinan sehingga berdampak buruk bagi hubungan antar masyarakat, meningkatkan ekskalasi teror, dan memperburuk citra pemerintah sendiri.
Yendra menjelaskan, JAI adalah organisasi keagamaan Islam yang secara resmi berbadan hukum SK Menteri Kehakiman, berasaskan Pancasila, tidak berpolitik, dan tidak pernah bercita-cita mendirikan Negara Islam. Organisasi ini telah berdiri di Indonesia sejak 1926 dan ikut berjuang demi kemerdekaan dan tegaknya NKRI. Pencipta lagu Indonesia Raya, WR Supratman adalah salah satu pengikut Ahmadiyah.
Wakil Ketua Badan Pengurus YLBHI Gatot Rianto mengatakan, pengusiran JAI hari ini jika dikaitkan dengan peristiwa demi peristiwa yang terus berulang, modusnya selalu sama. Pada akhirnya, pemerintah tidak bisa mengambil satu langkah yang sesuai dengan amanat konstitusi.
"Tugas utama negara adalah memastikan hak beragama dan berkeyakinan ini tidak diganggu oleh siapapun. Tapi faktanya untuk jemaat Ahmadiyah diterbitkan SKB 2 Menteri, yang sejak awal jadi persoalan," katanya.
Bagi Gatot, SKB itu menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk menerbitkan peraturan gubernur yang secara substansi bertentangan dengan konstitusi. Aturan itu memicu tindakan pelarangan beragama dan beraktivitas terhadap kelompok minoritas, seperti jemaat Ahmadiyah.
(rdk)