-- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terancam kehilangan jaksa penuntut umum atas penerapan Undang-undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). UU tersebut tidak mengatur mekanisme penempatan jaksa di lembaga lain, yang ada hanya pengaturan untuk TNI dan Polri.
Kepala Bidang Penyelenggara pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) Kejaksaan Agung, Yudi Kristiana, mengatakan tidak ada penempatan jaksa di lembaga antikorupsi itu.
"Jadi tidak ada penempatan jaksa di KPK, padahal kewenangan pentuntutan melekat kepada jaksa, dengan sendirinya KPK tidak akan bisa menuntut tanpa jaksa, UU ini akan gaduh bila sudah diberlakukan," ucap Yudi di Jakarta, Jumat (5/2), seperti dilansir
Antara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yudi yang pernah bertugas di KPK selama empat tahun berbicara dalam Diskusi Bulanan Persatuan Jaksa Indonesia (PJI)-Badiklat di Badiklat Ragunan bersama dengan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur Narendra Jatna.
"Aneh kalau aparat penegak hukum lain seperti polisi, hakim yang juga pegawai negeri sipil tidak masuk sebagai ASN, tapi kenapa jaksa masuk?" ujar Yudi, mempertanyakan.
Menurut Yudi, UU ASN tersebut tidak mengakomodasi kekhususan para aparat sipil negara yang punya karakteristik tertentu, tapi lebih pada menyatukan model pembinaan kepegawaian. UU ASN juga disebut tidak memperhatikan organisasi yang memiliki kewenangan tertentu.
Yudi mencontohkan, "tidak ada yang mengatur kewenangan lembaga di bidang pendidikan seperti dosen, akan berbeda dengan pembinaan lembaga yang kewenangannya untuk mencari uang seperti Dirjen Pajak dan tentu berbeda dengan lembaga penegak hukum."
UU ASN menyebutkan, ASN adalah pegawai negeri sipil, sementara berdasarkan UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, jaksa adalah PNS. Hal ini berarti jaksa masuk dalam ASN.
Dalam Pasal 20 UU ASN, lanjut Yudi, tidak ada aturan pengecualian mengenai profesi jaksa selain untuk prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
"Kalau lembaga penegak hukum seperti jaksa meneliti berkas penyidikan dari kepolisian dan dikembalikan ke kepolisian maka hasilnya dinilai nol dan dianggap tidak bekerja padahal
output kejaksaan adalah keadilan yang tidak selamanya bisa terukur," kata Yudi.
Dia kembali mencontohkan, ada kalanya ekspose perkara harus dihentikan dan ada berkas yang harus dikembalikan. Hal itu tetap terhitung sebagai kinerja. "Tetapi parameter yang dipakai dalam ASN bersifat linear yang tidak mengakomodasi kekhususan lembaga kejaksaan," tuturnya.
Menurut Yudi, kejaksaan sendiri harus membuat terobosan payung hukum untuk mengatasi masalah ini. "Membuat payung hukum misalnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau bahkan mengajukan RUU Kejasaan yang tegas menempatkan kejaksaan sebagai lembaga yang berdiri sendiri yang tidak tunduk pada ASN," tutur Yudi.
Kajari Jakarta Timur Narendra Jatna mengatakan, mendukung adanya strategi jangka pendek, menengah, dan panjang dari kejaksaan menjelang penerapan UU ASN tahun ini.
Solusi jangka pendek, lanjut Narendra, adalah melakukan telaah ilmiah dan merancang prepres pengecualian jaksa dalam ASN; untuk jangka menengah adalah melakukan perubahan dalam UU Kejaksaan terkait status kepegawaian jaksa, sehingga jangan disebut pegawai negeri sipil; dan untuk jangka panjang perlu ada penguatan dalam konstitusi.
"Bila polisi, Mahkamah Konstitusi dan bahkan Komisi Yudisial ada di konstitusi, mengapa kejaksaan tidak ada?" kata Narendra.
Menurut Naredra, profesi jaksa bahkan bukan hanya sebagai penegak hukum melainkan
jurist (ahli hukum).
"Jaksa bukan
law enforcement, melainkan
jurist, yaitu
lawyer yang disewa oleh negara. Jadi bila berkas sudah P21 (berkas penyidikan lengkap) juga tidak wajib sidang karena P21 itu administratif, karena tujuannya adalah keadilan," ungkap Narendra.
"Tapi memang kalau bukan KPK yang terancam tidak ada yang peduli, jadi Kejaksaan sendiri juga yang harus berjuang sendiri," tambah Narendra.