Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengapresiasi majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat hukuman terdakwa suap gas alam Fuad Amin menjadi 13 tahun bui dan pencabutan hak politik selama lima tahun. Vonis ini lebih berat dari hukuman yang dijatuhkan hakim pada bekas Bupati Bangkalan ini di pengadilan tingkat pertama.
"Kami mengapresiasi putusan banding termasuk putusan mencabut hak politik," kata Pelaksana Harian Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati ketika dihubungi, Selasa (9/2).
Untuk opsi langkah hukum berupa kasasi ke Mahakmah Agung, KPK tengah mempertimbangkannya. "Saat ini jaksa penuntut umum masih menunggu salinan putusannya. Untuk upaya hukum selanjutnya sedang didiskusikan jaksa dengan pimpinan," kata Yuyuk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Respons positif ini muncul usai Pengadilan Tinggi DKI Jakarta merilis putusan banding atas kasus suap gas alam Bangkalan dan tindak pidana pencucian uang. Hakim Elang Prakoso bersama hakim lainnya menyatakan Fuad Amin terbukti korupsi dan mencuci uangnya. Dari fakta dan argumen banding yang diajukan tim jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hakim meyakini Fuad patut dihukum lebih berat dari vonis sebelumnya yakni delapan tahun bui dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Sementara itu ketika dihubungi secara terpisah, pengacara Fuad Amin yakni Firman Wijaya enggan berkomentar. "Saya sedang tidak ingin komentar," kata Firman.
Pengacara lainnya, Rudi Alfonso, mengaku sudah tidak lagi menangani perkara Fuad sejak diputus di pengadilan tingkat pertama. "Saya tidak bisa berkomentar karena tidak lagi menjadi kuasa hukumnya. Kami tidak ditunjuk untuk urusan banding maupun kasasi," kata Rudi.
Dalam putusan pengadilan tinggi, majelis sepakat dengan jaksa KPK bahwa Fuad telah menerima duit suap dari PT Media Karya Sentosa melalui jajaran direksinya, Antonius Bambang Djatmiko sebanyak Rp15,6 miliar.
Suap bermula ketika PT MKS ketika hendak membeli gas alam di Blok Poleng, Bangkalan. Pada saat yang bersamaan, Perusahaan Daerah Sumber Daya (PD SD) juga menginginkan hal yang sama. Kemudian, Bambang melobi Fuad agar PT MKS dapat membeli gas bumi dari PT Pertamina EP di Blok Poleng Bangkalan. Fuad Amin pun sepakat untuk membantu.
Fuad Amin mengarahkan perjanjian konsorsium PT MKS dengan PD Sumber Daya dan memberikan surat dukungan permohonan alokasi Kodeco sehingga PT MKS memperoleh alokasi gas alam dari PT Pertamina EP.
Tak berselang lama, BP Migas menunjuk PT Pertamina EP sebagai penjual gas kepada PT MKS. Pada tanggal 5 September 2007, PT Pertamina EP dan PT MKS menandatangani Perjanjian tentang Jual Beli Gas Alam untuk Pembangkit Listrik di Gresik dan Gili Timur, Madura.
Fuad juga divonis mencuci duit dari hasil korupsi sebanyak Rp197,2 miliar sejak tahun 2003-2014. Rincian perolehannya adalah penerimaan suap dari PT MKS sebanyak Rp 15,65 miliar sejak tahun 2009 hingga 2014, pemotongan realisasi anggaran SKPD Pemkab Bangkalan sekitar 10 persen sejak 2004 hingga September 2010 sebanyak Rp 159,162 miliar, dan penempatan calon PNS di Pemkab Bangkalan dari tahun 2003-2010 senilai Rp 20,1 miliar.
Sebagai seorang bupati selama dua periode sejak 2003-2013 dan Ketua DPRD Bangkalan sejak 2014, KPK mengendus harta Fuad yang melimpah tak sesuai dengan profilnya. Merujuk Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) per 27 Agustus 2012, harta Fuad berjumlah Rp1,73 miliar.
(pit)