Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) menilai inefisiensi proses pemberkasan perkara di Mahkamah Agung selama ini telah menjadi celah yang dimanfaatkan sebagai permainan perkara mafia peradilan.
Terungkapnya kasus dugaan korupsi yang menjerat Kepala Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata Khusus MA, Andri Tristianto Sutrisna, dipandang sebagai salah satu modus permainan perkara yang berhasil dibongkar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan LeIP Arsil mengatakan proses pemberkasan mulai dari pengiriman perkara hingga terbitnya putusan di MA selama ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Inefisiensi pemberkasan di MA punya implikasi yang sangat besar pada celah terjadinya mafia peradilan. Jika proses itu bisa dipersingkat, maka celah itu setidaknya bisa dipersempit," kata Arsil saat berbincang Selasa (16/2).
Menurut Arsil, proses pemberkasan di MA banyak tersendat di tingkat administrasi kepegawaian. Sejumlah faktor yang membuat pemberkasan molor antara lain terjadi ketika proses penelaahan berkas dan pemberkasan pasca hakim agung bermusyawarah menghasilkan putusan.
Celah yang dimanfaatkan sebagai modus terjadinya mafia peradilan, kata Arsil, bisa berupa penundaan proses pemberkasan putusan, mengulur-ulur penelahaan, dan memanfaatkan informasi untuk jual-beli perkara.
"Celah-celah seperti itu sangat mungkin dimanfaatkan untuk permainan perkara," kata Arsil.
Berdasarkan catatan LeIP, kata Arsil, jumlah kasus yang ditangani MA selama satu tahun bisa mencapai 12 ribu perkara. Sementara berkas satu perkara di MA ketebalannya mencapai rentang 30-1.000 lembar.
Ketebalan berkas putusan dianggap sebagai pemborosan waktu dan biaya. Arsil menilai pemberkasan tuntutan seharusnya bisa lebih disederhanakan.
"Jika berkas putusan itu dapat lebih disederhanakan menjadi 2-3 lembar saja, efektivitas proses pemberkasan sangat bisa dimanfaatkan untuk mempersempit celah pemanfaatan waktu bagi mafia peradilan," kata Arsil.
KPK telah menetapkan Andri sebagai tersangka karena diduga menerima suap untuk menunda penerbitan salinan kasasi perkara yang melibatkan terdakwa atas nama Ichsan Suaidi. Ichsan dan pengacaranya, Awang Lazuardi Embat, juga ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Ichsan sebagai pengusaha pernah diputus terbukti korupsi Dermaga Labuhan Haji di Lombok Timur. Ichsan pun mengajukan banding hingga kasasi. Di tingkat kasasi, putusannya diperberat menjadi lima tahun oleh tiga hakim yakni Hakim Krisna Harahap, MS Lumme, dan Artidjo Alkostar. Putusan dibacakan pada September 2015.
Ketiga tersangka itu berhasil dicokok dalam operasi tangkap tangan oleh penyidik KPK, Jumat malam pekan lalu. Andri dibekuk di rumahnya di kawasan Gading Serpong. Sementara Awang ditangkap di sebuah hotel di Gading Serpong, Tangerang.
Pada saat hampir bersamaan, Ichsan diciduk di sebuah apartemen di Karet, Jakarta. Penyidik juga menyita uang sebesar Rp400 juta yang diduga merupakan suap dari Ichsan untuk Andri, dan sebuah koper berisi uang sebanyak Rp500 juta.