Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengaku sulit menangkap pimpinan jaringan teroris Mujahidin Indonesia Timur Santoso di Poso, Sulawesi Tengah. Luhut mengibaratkan pencarian ini bak bermain petak umpet.
"Kalau operasi gerilya, di seluruh dunia tidak akan pernah cepat. Daerahnya begitu luas, orangnya cuma 30 orang. Ya kami kejar-kejaran seperti petak umpet," kata Luhut saat ditemui di rumahnya, Jakarta, Sabtu (20/2).
Santoso diduga bersembunyi di Gunung Biru, Tamanjeka, Poso. Namun, Luhut tak dapat memastikan posisi mutakhir dari si otak penyerangan terorisme ini. Luhut mengatakan, medan yang berat menjadi tantangan tersendiri dalam operasi gerilya Tinombala ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kesulitan karena luas daerah, pegunungan berkelok-kelok, tertutup hutan, ya itu yang paling pokok. Ya namanya gerilya kan dia di sini, besok lagi di sana. Bagaimana kamu memonitor mereka? Amerika saja tidak selesai-selesai, di Afghanistan, Syria, itu tidak beres," katanya.
Luhut enggan dibilang ia kerap kecolongan lantaran kelincahan Santoso bak belut yang tak dapat kunjung ditangkap sementara sejumlah penyerangan masih saja menyergap dan menjadi ancaman. "Ada tiga hal yang tidak bisa diketahui, kapan, di mana, dan bagaimana. Kami tahu ada orang radikal di sana. Kami tangkap dan interogasi jadi tidak jadi serangannya," katanya.
Tak jarang, medan yang kejam justru membawa petaka bagi tim anggota Kepolisian. Ajun Komisaris Fredi Manuhutu dilaporkan telah meninggal dalam operasi pengejaran Santoso. Kondisi tubuh Fredi yang tidak sehat lantaran cuaca menjadi pemicu meregangnya nyawa Fredi.
"Kalau yang terakhir meninggal itu saya dengar karena serangan jantung, dan mau dievakuasi pakai helikopter, dan halypad belum jadi banyak hutan, terlambat. Jadi waktu helikopter sampai, (Fredi) sudah pergi. Itu kendala operasi militer biasa itu," ucapnya.
Meski demikian, Luhut tak mau pesimistis dengan pengejaran buron terorisme kelas wahid di Indonesia ini. "Tapi pelan-pelan kami gerogoti mereka," katanya.
Salah satu strategi untuk menggerogoti kemampuan lawan prajurit ini adalah dengan mengunci area lokasi perkampungan di kaki gunung. Alhasil, suplai logistik untuk Santoso menjadi minim.
"Itu bukan hal yang mudah, kami coba dengan teknologi lain. Ada juga strategi lain seperti suplai-suplai makan utnuk dia sudah ditutup. Tapi kan tidak sesederhana itu juga. Masih ada pendukung-pendukung dia di kampung-kampung itu," tuturnya.
Sudah lebih dari satu bulan sejak Operasi Tinombala pertama dilakukan pada 10 Januari 2016. Namun, Santoso tak kunjung digenggam. Polisi pun satu per satu tumbang.
Sebelumnya, Korps Bhayangkara juga pernah menggelar Operasi Camar Maleo dalam empat tahap. Namun, hasil masih nihil. Terkait target penangkapan, Luhut enggan berspekulasi. "Yang namanya gerilya tidak bisa ditarget," ucapnya.
(obs)