Jokowi Ingin Normalisasi Kehidupan Umat Ahmadiyah

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Senin, 22 Feb 2016 18:20 WIB
Dua hal yang ditekankan Presiden Jokowi adalah normalisasi kehidupan umat Ahmadiyah dan tidak boleh ada pembinaan yang dipaksakan terhadap mereka.
Warga Bukit Duri, Jakarta Selatan, berkumpul untuk mengusir jemaat Ahmadiyah. (CNN Indonesia/Eky Wahyudi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Staf Khusus Presiden Joko Widodo, Jaleswari Pramodhawardani menyatakan bahwa presiden menegaskan dua hal terkait umat Ahmadiyah, yaitu normalisasi kehidupan umat Ahmadiyah dan tidak boleh ada pembinaan yang dipaksakan terhadap mereka.

"Presiden menegaskan dialog harus menjadi kunci dalam penanganan kasus Ahmadiyah. Pilihan relokasi pun harus ditawarkan terlebih dulu kepada mereka, apakah mereka setuju atau tidak," kata Jaleswari dalam seminar yang diadakan di gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta Pusat, Senin (22/2).

Pernyataan itu berkaitan dengan dugaan pengusiran jemaat Ahmadiyah oleh pemerintah daerah di Pulau Bangka. Warga Ahmadiyah diduga mendapatkan tekanan untuk masuk kepada ajaran agama Islam Sunni atau akan diusir dari pulau penghasil timah tersebut.
Jaleswari menilai selama ini relokasi dan pembinaan sebenarnya merupakan paksaan secara halus. Masalah terkait intoleransi, kata Jaleswari, sering kali disusupi kepentingan politik dan ekonomi kelompok tertentu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia juga menilai penyelesaian masalah intoleransi di daerah sangat bergantung pada penafsiran hukum dan pemahaman aparat di level bawah. Sebuah hukum yang bermuatan adil, kata Jaleswari, bisa ditafsirkan berbeda oleh aparat di daerah.

"Kalau lihat kasus per kasus, konteks lokalnya berbeda. Memang pada akhirnya, semua normal kembali di Bangka. Namun apakah ini bisa dilakukan demikian di semua tempat? Ini sangat bergantung pola pikir aparatnya," katanya.
Lebih lanjut, Jaleswari mengatakan paham radikal dan sikap intoleransi celakanya juga ditemukan pada birokrasi hingga di perguruan tinggi ternama. Penyebar ajaran radikal dinilai kerap memantik intoleransi.

"Bangka merupakan daerah yang sangat plural dan menghargai perbedaan tetapi mengapa tiba-tiba menjadi intoleran? Mungkin karena disusupi oleh pihak lain," katanya.

Selain itu, Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina Ihsan Ali Fauzi mengatakan kasus kekerasan atas nama agama yang paling banyak terjadi di Indonesia merupakan kasus yang menyangkut kelompok minoritas intraislam.
"Dalam lima tahun terakhir, konflik kekerasan yang sifatnya sektarian intraislam mematikan. Di Cikeusik misalnya, tiga orang terbunuh. Sementara di Sampang, dua orang wafat," ujarnya.

Ihsan menilai kelompok minoritas harus dirangkul oleh negara agar kasus seperti itu tidak lagi terulang. Selain itu, organisasi Islam seperti NU diharapkan bisa melakukan hal yang sama. (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER