Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah perempuan asal Lampung, Jakarta, Bali, Makassar, Palu, hingga Kendari yang tergabung dalam Solidaritas Perempuan mendeklarasikan gerakan ‘Perempuan Tolak Reklamasi’ hari ini, memanfaatkan momentum Hari Perempuan Internasional yang jatuh lima hari lalu, yakni 8 Maret.
“Perempuan yang hadir di sini, mewakili seluruh perempuan nelayan dan pesisir di Indonesia, mendeklarasikan gerakan ‘Perempuan Tolak Reklamasi’. Reklamasi hanya akan semakin menindas, memiskinkan, dan memperkuat ketidakadilan terhadap perempuan,” ujar Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Puspa Dewi, dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (13/3).
Puspa mengatakan tolak reklamasi sudah selayaknya bergulir menjadi gerakan nasional, sebab proyek reklamasi berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat, mengancam keanekaragaman hayati pesisir, dan mempersulit nelayan melaut hingga berujung pada terancamnya kedaulatan pangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Selain kedaulatan pangan, keutuhan ekologis juga terancam sehingga seluruh lapisan masyarakat akan terkena dampaknya,” kata Puspa.
Ela Sari, perwakilan Solidaritas Perempuan Jakarta Bogor Tangerang Bekasi, mengatakan pascakegiatan reklamasi di pesisir utara Jakarta, perekonomian perempuan di sana yang sehari-hari bekerja sebagai pengupas kerang, memburuk. Ini karena ketersediaan kerang hijau yang menjadi bahan baku berkurang.
Hal tersebut menyebabkan turunnya pendapatan rumah tangga masyarakat pesisir. Akibatnya para perempuan di pesisir Jakarta terpaksa mengambil pekerjaan tambahan seperti buruh cuci, pemungut sampah, hingga pengumpul barang bekas.
“Saya sebagai perempuan Jakarta dan perempuan pesisir menyatakan melawan reklamasi yang terjadi di nusantara,” ujar Ela.
 Solidaritas Perempuan menyerukan gerakan nasional Tolak Reklamasi. (CNN Indonesia/Safyra Primadhyta) |
Nasib buruk juga menimpa perempuan di pesisir Makassar, Sulawesi Selatan. “Sebelum reklamasi, seorang perempuan patude (pencari dan pengupas kerang di Makassar) bisa memperoleh penghasilan Rp80 ribu dalam sehari. Sejak reklamasi, mendapatkan Rp 20ribu saja sulit,” kata Nurhayati, perwakilan Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Makassar.
Bahkan di Mariso, Makassar, jumlah perempuan patude semakin menyusut. Tempat tinggal dan sumber kehidupan mereka tergusur hingga banyak di antara mereka yang beralih pekerjaan menjadi buruh pabrik atau buruh cuci.
Perempuan, kata Puspa, selama ini memegang peran penting di sektor perikanan, mulai proses praproduksi sampai ketersediaan pangan untuk keluarga. Sayangnya, ujar Puspa, peran tersebut tidak diakui oleh negara yang tak memiliki kebijakan perlindungan dan pemberdayaan nelayan serta masyarakat pesisir.
Padahal dampak buruk reklamasi, kata Puspa, dirasakan lebih berat oleh perempuan pesisir Teluk Jakarta. Para perempuan harus bekerja ekstra untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga karena tanggung jawab mereka sebagai penyedia pangan dan pengelola keuangan keluarga.
Kerja ekstra ditambang beban kerja domestik, ujar Puspa, membuat banyak perempuan pesisir harus bekerja setidaknya 18 jam dalam sehari. Alhasil ruang politik dan sosial perempuan pesisir makin sempit dan berpotensi membahayakan kesehatan perempuan, termasuk kesehatan reproduksi mereka.
“Situasi perempuan tak pernah diperhitungkan dalam berbagai kebijakan dan program terkait pengelolaan pesisir, termasuk soal reklamasi. Tidak pernah ada data terpilah gender dan kajian dampak spesifik yang berbeda terhadap perempuan,” kata Puspa.
Solidaritas Perempuan menuding pemerintah masih abai terhadap berbagai dampak buruk reklamasi bagi masyarakat dan lingkungan. Reklamasi justru terus dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia hingga kini menjadi persoalan nasional.
Puspa mengamati semua proyek reklamasi di Indonesia memiliki kesamaan, yakni sarat kepentingan pengusaha yang dilegitimasi penguasa. Peraturan perundang-undangan yang melindungi kepentingan rakyat, konstitusi yang mengatur tanggung jawab negara untuk hajat hidup orang banyak, dilanggar dan diabaikan.
 Aksi tolak reklamasi Teluk Benoa di Legian, Kuta, Bali, Minggu (13/3). Aksi ini meluas ke berbagai daerah di Bali, termasuk Nusa Lembongan, pulau kecil di seberang Bali. (Dok. Adi Sumiarta) |
(agk)