LIPUTAN KHUSUS

'Ini Kami Masih di Buru'

Suriyanto | CNN Indonesia
Kamis, 21 Apr 2016 11:01 WIB
Diperkirakan lebih dari seratus bekas tapol Pulau Buru enggan kembali ke daerah asal mereka setelah dibebaskan. Mereka kini menetap di pulau buangan itu.
Rusman mantan tapol Unit III yang memilih bertahan di pulau buru, saat ini berkebun dan berternak di Pulau Buru. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Tergopoh-gopoh Rusman menyandarkan sepeda ontel yang dikayuhnya dari ladang. Ia mengaku kaget saat melihat beberapa orang berkerumun di depan rumahnya sore itu. Satu orang dikenalnya di antara beberapa orang itu yang tak lain kawan lamanya.

“Bung Tumiso, apa kabar?” segera ia memeluk tamunya itu. Setengah tak percaya, ia tepuk pundak kawan lamanya itu, Lukas Tumiso yang datang dari jauh untuk menemuinya. Keduanya merupakan bekas tahanan politik yang diasingkan di Pulau Buru dan tinggal di satu unit tahanan, Unit III. Keduanya langsung mengenang masa lalu.

Tumiso lalu memperlihatkan foto-foto yang dijepret saat menjadi tapol sambil menyebutkan satu persatu orang yang ada di dalam foto itu. Ada yang sudah mati, namun ada pula yang masih hidup hingga kini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tumiso lantas menceritakan bahwa Rusman adalah sosok penting di Unit III dulu. “Dia adalah orang kepercayaan Pak Oey Hay Djoen,” kata Tumiso.

Oey Hay Djoen adalah petinggi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan pernah menjadi anggota DPR perwakilan dari Partai Komunis Indonesia. Di Buru, Oey ditandai tentara dengan nomor tahanan 001.

Salah satu tugas penting yang dipercayakan pada Rusman adalah mendengarkan radio di dalam hutan. Di Buru saat itu, kata Rusman, akses informasi sama sekali dipotong.

Media massa seperti koran, radio, dan televisi jadi barang haram.

“Informasi adalah harapan, kalau tidak punya informasi, kami sama saja tak punya apa-apa,” kata Rusman. Radio diperoleh dengan cara diselundupkan. Radio didapat atas bantuan tapol yang berasal dari Ambon dan wanita pribumi yang kelak menjadi istri Rusman.

Pada malam-malam tertentu, Rusman diminta Oey pergi ke tengah hutan mendengarkan radio itu. Targetnya adalah siaran dari radio Peking dan Australia.

Salah satu informasi penting yang didapat dari Peking adalah pidato Ketua Partai Komunis China saat itu Mau Tse Tung.

“Ketua Mao saat itu menyebut teori negara tiga dunia,” kata Rusman.

Saat itu Mao sudah menyebut bahwa negara dunia pertama yakni Amerika dan Uni Soviet, negara dunia kedua adalah Inggris, Eropa barat dan Eropa timur serta negara dunia ketiga adalah negara-negara berkembang.

Sementara informasi dari radio Australia menyiarkan kebobrokan rezim Soeharto membuat rakyat benci. Selain itu ada berita soal rencana pembebasan tahanan politik karena tekanan dari luar negeri.

“IGGI (kelompok negara donor) akan menyetop bantuan kalau tapol tidak dibebaskan,” kata Rusman.

Informasi penting ini yang kemudian disebarkan Rusman dari mulut ke mulut agar keberadaan radio itu tidak diketahui tentara.

Rusmah mengaku tak takut mengemban tugas mendengarkan radio itu meski nyawa harus dipertaruhkan. Pernah suatu hari ia harus hampir saja terpergok tentara yang tengah berburu.

Sambil memegangi radio, ia merayap di antara ilalang sampai bertemu sebuah gubuk di tepi kali dan bersembunyi di sana.

Rusman kini menghabiskan masa tuanya di Buru. Sebelum bebas, ia memang sudah menikahi gadis asli Buru.

“Setelah menikah, saya tak ada keinginan pulang ke Garut,” kata bekas anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesai (CGMI) ini.

Lebih dari 40 tahun mendiami Buru, logat Sunda Rusman kini sudah hilang, berganti dengan logat Maluku. Meski begitu, ia masih fasih berbahasa Sunda dan masih rutin pulang kampung saban tahun.

Yadiono Guru Musik Anak-anak Buru

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3 4
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER