Sejak menjadi tahanan politik di Pulau Buru, Dariyun memang tak ingin berencana untuk pulang ke Bandung, Jawa Barat. Ia merasa seluruh kehidupannya sudah direnggut oleh rezim berkuasa saat itu. Bahkan istri yang ditinggalkannya ke Pulau Buru, kabarnya dinikahi tentara.
Dariyun dikirim ke Buru pada 1971. Ia yang saat itu tergabung dalam Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Sarbupri) dituding sebagai antek PKI.
Bukan cuma dirinya, tentara saat itu juga membawa paksa dua adik dan bapaknya. Semuanya ditahan atas tuduhan yang sama, terlibat PKI. Namun cuma dirinya yang diasingkan ke Buru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak berada di Buru, Dariyun merasa tak ada alasan kuat untuknya kembali pulang meski sudah dibebaskan. Di Buru baginya lebih ada harapan dibandingkan harus pulang.
Jadilah Dariyun warga Buru sampai sekarang. Ia kemudian menikah dengan wanita asal Solo yang merupakan putri seorang tentara bernama Bisono. Pilihannya ini sempat dipertanyakan oleh teman-temannya sesama tapol.
“Teman-teman tanya, apa enggak malu punya istri anak tentara?” Kata Dariyun.
Dariyun saat itu menjawab, semua manusia lahir dalam kondisi telanjang sehingga tak ada perbedaan derajat apakah itu tentara atau bekas tapol.
Apalagi sejak awal Dariyun tak menduga, wanit pujaan hatinya adalah anak tentara. Saat ia tahu hal itu, ia sempat pesimistis bisa mendapatkan restu dari orang tua calon istrinya.
Karena itu saat calon istrinya pamit untuk minta izin kepada orang tuanya yang berdinas di Ambon, Dariyun tak mau berharap banyak.
“Saya bekali calon istri saya uang Rp600 ribu, kalau dapat izin dia bisa pulang lagi ke sini (Buru), kalau tidak disetujui, uangnya bisa dipakai untuk kursus,” kata Dariyun.
Tak dinyana, dua pekan kemudian sang pujaan hati sudah kembali dengan membawa surat wali. Isi surat itu pada intinya, orang tua istri tidak bisa datang dan menyerahkan hak perwalian kepada penghulu.
Maka menikahlah Dariyun dengan anak tentara itu hingga memiliki empat orang anak.
Dariyun bersama istrinya kini menjalani masa tuanya di Buru dengan mengelola tanah yang dijatah dari pemerintah. Sama seperti eks tapol lainnya yang bertahan di Buru, ia berstatus sebagai transmigran swakarsa sehigga berhak mendapatkan rumah, pekarangan dan sawah untuk dikelola.
Tak semua tahanan politik di Pulau Buru kembali ke daerah asalnya setelah dibebaskan pada 1979. Puluhan tahanan politik memilih melanjutkan hidup di pulau pengasingan mereka itu.
(sur/sip)