Jakarta, CNN Indonesia -- Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus A T Napitulu, menyebut Presiden Jokowi lari dari tanggung jawabnya dalam melindungi korban kekerasan seksual pasca ditandatanganinya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) nomor 1 tahun 2016. Pengesahan Perppu tentang perubahan kedua Undang-undang nomor 23 tahun 2002 ini dinilai hanya untuk meredam tuntutan masyarakat.
"Kami kecewa presiden melupakan perlindungan terhadap korban. Kami kecewa dengan perppu yang seharusnya disusun secara demokratis tetapi dilakukan dengan cara represif tidak memperhatikan kepentingan korban," kata Erasmus di LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Minggu (29/5).
Perppu tersebut menurut Erasmus tak satupun pasal yang mencantumkan dan mengatur perlindungan terhadap korban juga pemenuhan hak bagi korban. Bahkan, Erasmus menilai perppu dibuat tanpa kajian yang jelas dan tidak memperhatikan korban kekerasan seksual. Karena itu ia ragu Perppu akan berhasil dijalankan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Erasmus juga menambahkan dirinya tidak pernah menemukan berapa data yang sudah dilakukan pemerintah dalam menangani korban kekerasan seksual.
"Presiden Jokowi tidak tahu apa yang ditanda tangani, saya takutnya anak buah Jokowi pun tidak menjelaskan," tegasnya.
Sementara itu Khotimun dari Asosiasi LBH Apik Jakarta mengatakan, penolakan terhadap Perppu ini didasarkan pada tidak adanya perlindungan terhadap korban yang tertuang dalam pasal yang diubah. Perppu ini hanya melihat pada hukuman terhadap pelaku. Selain itu, rehabilitasi untuk korban kekerasan seksual tidak diperhatikan.
"Konsep perlindungan anak dari Pak Jokowi itu seperti apa, seharusnya kalau Perppu ini muncul itu untuk melengkapi tapi perspektifnya masih pada pelaku saja bukan perlindungan korban," jelasnya.
Khotimun mencontohkan kurangnya perlindungan pada anak terjadi di Nusa Tenggara Timur, korban kekerasan seksual tidak pernah dapatkan kompensasi dan restitusi. Padahal restitusi atau ganti kerugian sangat penting bagi mereka yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memang sempat mengajukan restitusi bagi korban. Namun, hal ini tidak diteruskan lagi sampai sekarang.
(sur)