Jakarta, CNN Indonesia -- Ada kecemasan yang menjalari perasaan Sukirman, 46. Profesinya sebagai petani tembakau rupanya tak akan diikuti oleh sang anak yang lebih memilih hijrah ke Yogyakarta, dari kampung halaman mereka di Desa Bulu, Kecamatan Wokodomo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Meski menetap di desa, Sukirman memang merasakan aroma kemajuan zaman yang tidak mungkin dibendung. Anak-anaknya yang beranjak dewasa bukan lagi remaja yang hidup di zamannya, yang secara alamiah mengikuti jejak orang tua, meneruskan pekerjaan sebagai petani tembakau.
Sukriman sadar betul bahwa dia mesti mengalah menghadapi keinginan putranya. Anak muda di Temanggung lebih suka bekerja di perkantoran, meninggalkan persawahan dan segala hiruk pikuk bertani tembakau.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pilihan lain yang dikehendaki anak muda di sana adalah menjadi kuli bangunan. Bagi putra Sukirman dan teman sebayanya, mengantongi uang secara pasti dari keringat yang dikucurkan saat itu sangat jauh lebih baik ketimbang berurusan dengan tengkulak tembakau.
“Anak saya saja contohnya. Dia tidak mau jadi petani tembakau, lebih memilih bekerja di luar. Saya tidak memaksa anak saya menjadi petani tembakau,” ujar Sukirman saat berbincang dengan CNNIndonesia.com di kediamannya di Temanggung, Kamis (27/5).
Bekerja sebagai petani tembakau memang tidak semulus 10 atau 20 tahun lalu. Menjadi petani tembakau berarti memiliki masa panen sekali dalam setahun dengan keuntungan yang tak melulu besar.
Cuaca menjadi faktor penentu pertumbuhan tembakau. Cuaca pula yang membawa Sukriman dan petani lainnya pada nasib menjelang panen: berhasil atau gagal.
Budi, 46, merasakan hal yang sama dengan Sukirman. Warga Kecamatan Selopampang, Dusun Jetis, Kabupaten Temanggung, itu mencemaskan generasi penerusnya sebagai petani tembakau.
Menurut Budi, dia kehilangan anak muda yang mau bersusah payah menjadi petani tembakau. Kehidupan di Temanggung telah jauh berubah saat ini.
“Anak muda sekarang maunya instan. Mau kerja yang uangnya sudah kelihatan di depan mata. Anak saya juga, lebih memilih menjadi kuli di Yogyakarta ketimbang bertani, tapi saya juga tidak bisa maksa,” tutur Budi sambil menyesap tembakau dari ladangnya sendiri.
Budi dilanda keresahan akan generasi penerus petani tembakau setiap malam. Ia mengaku sering memikirkan kemajuan kehidupan petani tembakau di masa mendatang.
Budi yang sehari-harinya pergi ke ladang ini tak ingin Temanggung kehilangan tembakau yang sudah menjadi warisan nenek moyang. Kesabaran dan ketabahan memang menjadi keharusan menjalani profesi sebagai petani tembakau.
Apalagi jika melihat penghasilan yang didapat. Ketika masa panen tiba pun, Budi tak bisa langsung merasakan hasilnya saat itu juga, dan harus menunggu sekitar satu bulan untuk menerima uang setelah tembakaunya dibeli perusahaan rokok.
Misbakhudin, 60, juga merasakan hal yang sama. Misbakhudin saat ini memiliki lahan sendiri. Dia pun kerap bingung mengenai siapa yang akan meneruskan menggarap ladangnya. Kakek yang sudah memiliki satu orang cucu ini tak tahu siapa yang bakal mengurus ladang dan menanam tembakau kelak.
“Anak saya malas pergi ke ladang. Dia hanya ingin kerja ke kota walau sekarang masih menganggur. Sekarang saya mengurus ladang dan tembakau dengan istri saja,” kata Misbakhun.
Bagi Misbakhun, Budi, dan Sukirman, ketiadaan generasi penerus sebagai petani tembakau, sama saja seperti kehilangan jati diri. Lebih dari itu, tembakau bukan hanya merupakan jati diri tiga petani itu, tetapi juga bagi Kabupaten Temanggung.
Memiliki ladang tembakau tak serta merta membuat kehidupan para petaninya jauh dari masalah. Penghasilan yang seharusnya bisa lebih tinggi harus diikhlaskan lantaran dicurangi para pedagang perantara, atau yang dikenal dengan sebutan tengkulak.
Kecurangan tengkulak menjadi momok bagi petani tembakau. Dari setiap tingkat kualitas tembakau memiliki harga berbeda bergantung kebijakan perusahaan rokok.
Untuk tembakau grade A dengan kualitas yang biasa, dibanderol seharga Rp10 ribu per kg, sedangkan untuk tingkat E dengan kualitas tembakau tinggi dihargai dengan kelipatan harga tembakau grade A. Namun harga yang dibayarkan terkadang tidak sesuai dengan nilai yang diberikan kepada petani lantaran ada permainan dari tengkulak.
Apalagi, para tengkulak memang memiliki akses yang sangat luas sebagai perantara antara petani tembakau dengan pabrik rokok. Kebanyakan tengkulak bahkan mengantongi Kartu Tanda Anggota (KTA) resmi dari perusahaan sehingga bisa diterima dengan baik oleh perusahaan.
Bagi Misbakhudin, kondisi ini meresahkan para petani. Parahnya lagi, para tengkulak sudah bekerja sama dengan mafia perusahaan rokok.
“Harga tembakau bagus di sini biasanya Rp50 ribu per kilogram yang sudah disetujui oleh pabrik. Tapi nanti sampai pembayaran itu bisa cuma Rp20 ribu sampai Rp30 ribu saja dengan alasan harga diturunkan dari pabrik,” ujar Misbakhudin.
Padahal faktanya, pabrik rokok tidak pernah menurunkan harga begitu saja tanpa membuat kesepakatan dengan para petani.
Menurut Misbakhudi, akan lebih adil jika tembakau dihargai Rp75 ribu per kg tetapi sudah dipotong uang transportasi dan kebutuhan yang ditentukan pabrik. Dengan hanya dibayar setengah dari harga yang sudah ditentukan, petani tembakau tidak mendapat untung.
Uang penjualan hasil panen yang diperoleh para petani, lanjut Misbakhun, hanya cukup untuk mengganti uang pinjaman dari bank yang digunakan sebagai modal awal penanaman tembakau. Yang dikantongi para petani nyaris nol rupiah.
Dari pengalaman Misbakhun, para petani tembakau sudah pernah melakukan aksi protes terhadap pabrik rokok. Namun protes tersebut menguap begitu saja tanpa ada tindak lanjut. Posisi petani yang relatif lebih lemah membuat perseteruan mengenai harga dengan tengkulak nyaris tanpa solusi.
Yang disesalkan Misbakhudin, para tengkulak tersebut tak lain adalah tetangganya sendiri yang sebenarnya juga mengetahui kesusahan para petani. “Tahun lalu saat kemarau panjang yang artinya kualitas tembakau akan meningkat, tapi justru tetap saja dibayar setengah harga. Aneh toh,” ucapnya.
Sementara itu, di Desa Jetis, Kecamatan Selopampang, keluhan mengenai kecurangan tengkulak juga diakui Saman, petani tembakau sejak 1971. Saman merasakan kecurangan tengkulak yang memotong harga jual tanpa persetujuan dan penjelasan kepada petani.
Menurut Saman, bukan hanya harga jual yang dipotong tanpa alasan, melainkan uang juga tak diberikan di muka oleh tengkulak. Petani tembakau masih harus menunggu proses pengiriman tembakau sampai ke pabrik sebelum menerima pembayaran.
“Sudah lama hal ini sering terjadi, kalau tengkulak rugi tetap saja petani yang ditekan dengan cara memotong harga jual yang sudah ditentukan untuk kepentingannya sendiri,” tutur Saman.
Untuk melanjutkan bertani, Saman kadang terpaksa meminjam uang kepada sanak saudara sebagai modal awal menanam tembakau. Seperti yang dia lakukan tahun ini, Saman meminjam uang Rp3 juta.
Namun jika tengkulak terus melakukan kecurangan, Saman mengaku tidak akan mendapat untung besar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Saman mencurigai ada mafia di perusahaan rokok yang bekerja sama dengan tengkulak. Namun kecurigaan itu tak pernah dia tindak lanjuti dengan lebih serius, menguap bersama kelelahannya setiap hari berkutat di ladangnya.
Dia berharap, pemerintah mau membantu petani tembakau dengan bertindak terhadap para tengkulak. Ada petani, ada tengkulak. Keduanya seperti mata rantai yang saling terkait dan terhubung. Seperti yang dituturkan para petani tembakau, kehadiran tengkulak telah sangat meresahkan. Ada kecurangan yang membuat kantong petani menipis meski telah habis-habisan berladang dan membelanjakan modal.
Namun bagi Istomo, 38, seorang tengkulak yang juga ditemui CNNIndonesia.com di Temanggung, persoalan tengkulak dengan petani bukan hanya kecurangan tengkulak. Melainkan ada pula petani nakal yang justru mengirim tembakau dengan kualitas di bawah sampel awal yang diterima pabrik rokok.
Istomo menjelaskan, hal tersebut juga menjadi persoalan serius yang dihadapi perusahaan rokok. Bagi tengkulak, fakta itu kerap mengganggu lantaran harus mengganti kerugian perusahaan rokok karena kenakalan petani.
Istomo dikenal petani sebagai seorang tengkulak yang jujur. Menurutnya, perusahaan rokok sudah memiliki kebijakan terhadap pembelian tembakau.
Untuk memberi jaminan bahwa dia tidak mempermainkan harga kepada para petani, Istomo menunjukkan bukti jumlah tembakau yang diterima beserta uang yang dibayarkan kepada petani. Bukti pembayaran tersebut memiliki tanda resmi dari perusahaan rokok sehingga dapat dipercaya.
Istomo yang mengaku berprofesi sebagai tengkulak sejak enam tahun belakangan itu mengaku tak suka mempermainkan harga yang bakal merugikan petani.
“Misal tembakau paling rendah dihargai Rp10 ribu sampai Rp15 ribu. Tapi tembakau yang bagus akan dihargai Rp60 ribu dan jika petani mengirimkan 37 kg, maka akan dibayar Rp2.220.000,” ujar Istomo. Kondisi cuaca yang memengaruhi hasil panen dan berhadap-hadapan dengan tengkulak serta perusahaan rokok ternyata belum cukup. Petani tembakau masih dihantui persoalan lain: peraturan mengenai keberadaan tembakau.
Petani tembakau Budi menyebut, Temanggung dan tembakau sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Dari bertani tembakau, sebagian besar masyarakat Temanggung dapat mencukupi kebutuhan hidup.
“Kami tidak mau kalau tembakau dihilangkan. Tembakau merupakan warisan budaya yang kami dapat dari nenek moyang,” kata Budi.
Keinginan masyarakat Temanggung untuk mempertahankan tembakau berbanding terbalik dengan semangat DPR RI yang hendak meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan. RUU tersebut masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016.
Dalam RUU tersebut tertulis rencana untuk membatasi impor, penetapan bea masuk tembakau impor sebesar 60 persen, dan pengenaan cukai tiga kali lipat bagi rokok yang menggunakan tembakau impor.
Budi meminta Anggota DPR berkunjung ke Temanggung dan melihat kehidupan para petani tembakau. Menjadi petani tembakau sejak usia 17 tahun, Budi merasa memahami kebutuhan tembakau di Indonesia.
Budi menjelaskan, Indonesia membutuhkan 300 ribu ton tembakau per tahun. Namun jumlah yang dihasilkan petani sebanyak 200 ribu ton per tahun. Sehingga impor dianggap sebagai jawaban dan langkah paling mudah menutupi defisit tersebut.
“Hal ini kan menyiksa petani tembakau jika RUU Pertembakauan disetujui,” ujar Budi.
Sebelum disusun RUU Pertembakauan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 yang telah diubah menjadi PP Nomor 38/2000 yang berkaitan dengan kesehatan muncul. Pasal di PP ini mengatur jumlah nikotin yang boleh dimiliki tembakau.
Hal ini menimbulkan pertentangan di kalangan petani tembakau karena tidak semua petani tradisional sanggup mengikuti standarisasi yang diwajibkan negara karena terkait isu kesehatan.
“Orang tua di sini sudah sejak lama merokok tembakau, tapi mereka tidak sakit-sakitan, justru bisa sampai umur 120 tahun seperti orangtua saya. Tidak ada itu kalau dibilang berkaitan dengan kesehatan,” ujar Budi.
Budi bersyukur karena saat ini kebijakan terkait nikotin yang harus ada dalam kandungan tembakau sudah dihilangkan.
Petani lainnya, Katon, 40, menjelaskan, saat ini perusahaan rokok menargetkan pajak 2 persen kepada petani tembakau dari hasil jual beli dengan perusahaan. Hal ini bertentangan dengan PP Nomor 81/2015 terkait impor dan atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai.
Bibit atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan atau perikanan masuk sebagai barang yang dibebaskan pajak.
“Bukankah seharusnya pajak yang membayar itu perusahaan? Kok malah petani yang dilimpahkan untuk membayar pajak 2 persen itu? Itu cukup besar dan menjerat petani,” tutur Katon.
Meski persoalan birokrasi dan ada peraturan ketat yang melingkupi tembakau, namun Budi dan Katon menentang jika tembakau dihilangkan dari Indonesia. Menurut mereka, tembakau sangat terkait erat dengan hajat hidup orang yang banyak yang menumpangkan hidupnya dengan bertani tembakau.
“Jika tembakau dihilangkan, berapa ribu jiwa yang akan menjadi pengangguran baik petani ataupun buruh pabrik di perusahaan rokok,” Katon memprotes.
Selain tembakau, para petani di dataran tinggi Selopampang, Desa Jetis, bercocok tanam bawang merah, tomat, cabai, jagung, dan bunga kol. Kanto berkeras bahwa hasil penjualan sayuran masih jauh lebih rendah dibanding penjualan tembakau.
Ribuan hektare lahan di Temanggung memang disesaki oleh tanaman tembakau. Petani tembakau mulai melakukan penanaman bibit tembakau pada April dan Mei dan musim panen akan dinikmati pada akhir September akhir hingga Oktober.
Bagi mereka tembakau adalah penghidupan.