Memiliki ladang tembakau tak serta merta membuat kehidupan para petaninya jauh dari masalah. Penghasilan yang seharusnya bisa lebih tinggi harus diikhlaskan lantaran dicurangi para pedagang perantara, atau yang dikenal dengan sebutan tengkulak.
Kecurangan tengkulak menjadi momok bagi petani tembakau. Dari setiap tingkat kualitas tembakau memiliki harga berbeda bergantung kebijakan perusahaan rokok.
Untuk tembakau grade A dengan kualitas yang biasa, dibanderol seharga Rp10 ribu per kg, sedangkan untuk tingkat E dengan kualitas tembakau tinggi dihargai dengan kelipatan harga tembakau grade A. Namun harga yang dibayarkan terkadang tidak sesuai dengan nilai yang diberikan kepada petani lantaran ada permainan dari tengkulak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apalagi, para tengkulak memang memiliki akses yang sangat luas sebagai perantara antara petani tembakau dengan pabrik rokok. Kebanyakan tengkulak bahkan mengantongi Kartu Tanda Anggota (KTA) resmi dari perusahaan sehingga bisa diterima dengan baik oleh perusahaan.
Bagi Misbakhudin, kondisi ini meresahkan para petani. Parahnya lagi, para tengkulak sudah bekerja sama dengan mafia perusahaan rokok.
“Harga tembakau bagus di sini biasanya Rp50 ribu per kilogram yang sudah disetujui oleh pabrik. Tapi nanti sampai pembayaran itu bisa cuma Rp20 ribu sampai Rp30 ribu saja dengan alasan harga diturunkan dari pabrik,” ujar Misbakhudin.
Padahal faktanya, pabrik rokok tidak pernah menurunkan harga begitu saja tanpa membuat kesepakatan dengan para petani.
Menurut Misbakhudi, akan lebih adil jika tembakau dihargai Rp75 ribu per kg tetapi sudah dipotong uang transportasi dan kebutuhan yang ditentukan pabrik. Dengan hanya dibayar setengah dari harga yang sudah ditentukan, petani tembakau tidak mendapat untung.
Uang penjualan hasil panen yang diperoleh para petani, lanjut Misbakhun, hanya cukup untuk mengganti uang pinjaman dari bank yang digunakan sebagai modal awal penanaman tembakau. Yang dikantongi para petani nyaris nol rupiah.
Dari pengalaman Misbakhun, para petani tembakau sudah pernah melakukan aksi protes terhadap pabrik rokok. Namun protes tersebut menguap begitu saja tanpa ada tindak lanjut. Posisi petani yang relatif lebih lemah membuat perseteruan mengenai harga dengan tengkulak nyaris tanpa solusi.
Yang disesalkan Misbakhudin, para tengkulak tersebut tak lain adalah tetangganya sendiri yang sebenarnya juga mengetahui kesusahan para petani. “Tahun lalu saat kemarau panjang yang artinya kualitas tembakau akan meningkat, tapi justru tetap saja dibayar setengah harga. Aneh toh,” ucapnya.
Sementara itu, di Desa Jetis, Kecamatan Selopampang, keluhan mengenai kecurangan tengkulak juga diakui Saman, petani tembakau sejak 1971. Saman merasakan kecurangan tengkulak yang memotong harga jual tanpa persetujuan dan penjelasan kepada petani.
Menurut Saman, bukan hanya harga jual yang dipotong tanpa alasan, melainkan uang juga tak diberikan di muka oleh tengkulak. Petani tembakau masih harus menunggu proses pengiriman tembakau sampai ke pabrik sebelum menerima pembayaran.
“Sudah lama hal ini sering terjadi, kalau tengkulak rugi tetap saja petani yang ditekan dengan cara memotong harga jual yang sudah ditentukan untuk kepentingannya sendiri,” tutur Saman.
Untuk melanjutkan bertani, Saman kadang terpaksa meminjam uang kepada sanak saudara sebagai modal awal menanam tembakau. Seperti yang dia lakukan tahun ini, Saman meminjam uang Rp3 juta.
Namun jika tengkulak terus melakukan kecurangan, Saman mengaku tidak akan mendapat untung besar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Saman mencurigai ada mafia di perusahaan rokok yang bekerja sama dengan tengkulak. Namun kecurigaan itu tak pernah dia tindak lanjuti dengan lebih serius, menguap bersama kelelahannya setiap hari berkutat di ladangnya.
Dia berharap, pemerintah mau membantu petani tembakau dengan bertindak terhadap para tengkulak.