Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat bioterorisme Isro Samihardjo menyebutkan kasus vaksin palsu yang terbongkar belakangan ini sebagai bentuk kriminal murni, bukan bagian dari bioterorisme atau kejahatan teror dengan menggunakan bahan biologis.
“Kasus vaksin palsu itu murni kriminal karena tidak ada agenda tersembunyi,” kata Isro kepada CNNIndonesia.com, Senin (27/6).
Menurut Isro, teror selalu dilakukan tersembunyi atau diam-diam untuk menyebabkan efek ketakutan. Sedangkan kasus vaksin palsu dilakukan secara terbuka dengan motif kejahatannya mencari keuntungan. Kasus vaksin palsu ini dianggap sebagai kriminal murni karena sudah jelas pelaku dan kelompoknya.
“Kalau ada yang menyatakan sebagai bioterrorisme, saya tidak menemukan unsur-unsur terrornya,” kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Isro, ciri utama teror adalah agenda tersembunyi. Dia mencontohkan kasus Teror Bom Sarinah, yang tidak diketahui apa tujuan sebenarnya dan tidak jelas musuhnya, sehingga korban dari kalangan tidak berdosa.
Contoh kejahatan bioterorisme di antaranya adalah penyebaran virus flu burung (avian influenza). “Sampai sekarang tidak ada yang bisa membuktikan bahwa itu adalah wabah alami,” kata Isro. Sesuatu yang bukan alami, kata Isro patut dicurigai memiliki agenda terembunyi.
Sebaliknya, Ketua Avian Influenza Research Center (AIRC) Universitas Airlangga Surabaya, Chairul Anwar Nidom mencurigai apabila kasus vaksin palsu sebagai bagian dari tindakan bioterorisme.
"Tindakan bioterorisme lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan bahaya narkoba, sehingga pemerintah harus serius memberantas kejahatan ini. Mari kita selamatkan anak-anak Indonesia," kata Chairul Anwar Nidom seperti dilaporkan
Antara.
Kekhawatiran Nidom karena kemungkinan penyuntikkan vaksin palsu ini juga menyebarkan kuman sembarangan.
"Kalau ada vaksin berisikan kuman sembarangan, kemudian telah disuntikkan pada anak-anak, maka bukan hanya bahaya untuk anak yang divaksin saja, tetapi juga lingkungan dan timbulnya penyakit baru yang tidak terprediksikan," paparnya.
Nidom berharap pihak penegak hukum atau pemerintah tidak menyederhanakan persoalan vaksin palsu ini, apalagi pelaku, khususnya kelompok produsen, kebanyakan merupakan lulusan sekolah apoteker.
"Kasus vaksin palsu ini harus dikaji secara dalam, terkait isi vaksin palsu itu apa saja. Sebagaimana kita ketahui, umumnya vaksin disuntikan, jadi jika yang disuntikkan kuman maka akan berdampak pada anak-anak hingga harian, mingguan, bulanan, bahkan tahunan," jelasnya.
Polisi menduga vaksin palsu beredar di lima provinsi. Sementara untuk di Jakarta diindikasikan ada empat rumah sakit yang menggunakan empat vaksin palsu.
Menurut Direktur Tindak Pidana Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jederal Agung Setya, tim penyidik Polri saat ini masih menelusuri peredaran di lima provinsi itu.
(yul)