Jakarta, CNN Indonesia -- Polisi merupakan alat negara yang bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Namun setelah 70 tahun Polri berdiri, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menempatkan polisi sebagai juara pertama yang dilaporkan masyarakat karena melakukan pelanggaran hak masyarakat empat tahun berturut-turut, 2012-2015.
"Polisi menempati posisi teratas sebagai pihak yang dilaporkan masyarakat kepada Komnas HAM. Setiap tahun, pengaduan tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan," kata Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai saat berbincang dengan CNNIndonesia di Jakarta, (29/6).
Pada 2015, terdapat 2.734 berkas aduan terhadap polisi, jauh meninggalkan aduan terhadap korporasi sebesar 1.231 berkas, pemerintah daerah 1.011 aduan, dan lembaga peradilan 640 aduan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari aduan tersebut, Komnas HAM memberikan rekomendasi sebesar 1.193, dan hanya 556 yang diberikan tanggapan. Aduan tersebut meningkat dari tahun 2012 sebesar 1.938 aduan, 2013 ada 1.845 aduan, dan 2014 sejumlah 2.483 aduan.
Yang miris dari laporan Komnas HAM, polisi sebagai aparat penegak hukum yang berfungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, ternyata sebagai pihak yang sering merenggut hak memperoleh keadilan masyarakat.
"Dari tahun 2012 sampai 2015, polisi paling sering diadukan terkait dugaan pelanggaran hak memperoleh keadilan, kemudian disusul pelanggaran terhadap hak atas rasa aman, dan hak untuk hidup," kata Natalius.
Berdasarkan data Komnas HAM, pada 2015 terdapat 608 aduan masyarakat kepada polisi karena melanggar hak memperoleh keadilan. Aduan tersebut meningkat dari tahun 2014 sebanyak 596 aduan, 2013 sebanyak 447 aduan, dan pada 2012 sebesar 369 aduan.
Terhadap hak atas rasa aman, pada 2015, Komnas HAM menerima 117 aduan, lalu 2014 sebanyak 31 aduan, 2013 sebanyak 58 aduan dan 2012 sebesar 36 aduan. Sedangkan hak untuk hidup, Komnas HAM menerima aduan pada 2015 sebesar 32, 2014 sebanyak 8 aduan, 2013 yaitu 14 aduan, dan 2012 sebesar 10 aduan.
Menurut Natalius, tingginya angka pelanggaran hak memperoleh keadilan oleh polisi menunjukkan proses penegakan hukum, baik penyelidikan maupun penyidikan, belum memberikan keadilan bagi para pencari keadilan atau
unfair trial system."Contoh pelanggaran seperti salah tangkap, salah prosedur penangkapan, penyusunan BAP tidak didampingi pengacara, hingga terjadi tindakan kekerasan dalam mengungkap fakta peristiwa. Pihak keluarga tidak mendapatkan informasi perkembangan kasus, dan kepastian proses hukum di polisi. Itu marak terjadi," kata Natalius.
Polisi Pelaku UtamaSenada dengan itu, berdasarkan data yang dikumpulkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dari Mei 2015-Mei 2016, polisi berada di peringkat pertama sebagai aktor yang sering melakukan penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi.
Aparat kepolisian tercatat melakukan 91 tindakan penyiksaan. Angka tersebut empat kali lipat lebih tinggi dari aparat TNI sebesar 24 tindakan, dan lima kali lebih tinggi dari petugas lembaga pemasyarakatan yaitu 19 tindakan.
"Terdapat 223 korban luka, dan 37 korban tewas akibat tindakan penyiksaan. Ada 83 tindakan penyiksaan dilakukan dalam proses pemeriksaan dan 39 tindakan penyiksaan dilakukan sebagai bentuk hukuman," kata peneliti Kontras, Mulki Mahmun saat dihubungi, (28/6).
Mulki mencontohkan, berdasarkan pantauan KontraS, terdapat beberapa praktik penyiksaan yang dilakukan oleh polisi.
Juni 2015, KontraS mencatat praktik penyiksaan yang dilakukan oleh anggota Polsek Widang, Tuban kepada anak di bawah umur. Penyiksaan ini diawali dengan penangkapan sewenang-wenang korban atas tuduhan tindak pidana pencurian sepeda motor.
Pada 1 Agustus 2015, anggota Satnarkoba Polres Sungailiat, Kepulauan Bangka, menangkap Suharli dan mendapatkan tuduhan kepemilikan Narkotika. Enam jam pasca dilakukan penangkapan, pihak keluarga mendapatkan informasi dari anggota penyidik polres bahwa korban telah meninggal dunia.
Pada 30 November 2015, anggota Resimen Brimob Polrestabes Makassar diduga melakukan penyiksaan kepada Abdullah dengan tuduhan pencurian sepeda motor dan laptop. Dari luka-luka di sekujur wajah dan tubuhnya, terdapat luka bekas sayatan silet pada bagian lengan dan paha serta luka pada bagian kaki korban.
Tanggal 4 Desember 2015, Marianus Oki ditemukan tewas di dalam sel tahanan Pospol Banat Manamas, Nusa Tenggara Timur. Pospol memberikan kabar pada keluarga bahwa Oki meninggal dunia di dalam sel tahanan dengan cara menggantung diri menggunakan ikat pinggang. Tapi saat diautopsi, ditemukan sejumlah luka di antaranya goresan luka pada bagian leher dan pendarahan pada bagian tulang belakang kepala.
Pada 8 Maret 2016, Siyono, warga Klaten yang diduga kuat tewas akibat penyiksaan yang dilakukan oleh Densus 88 Polri. Perbedaan hasil forensik yang salah satunya menemukan luka di sekujur tubuh termasuk tulang rusuk yang patah hingga menusuk jantung menguatkan dugaan tersebut. Pihak kepolisian mencoba memberikan sejumlah uang sebagai ganti rugi dan meminta keluarga untuk tidak menuntut.
Pada 27 Maret 2016, polisi Polsek Percut Sei Tua, Sumatra Utara, menangkap Bambang Ismayudi atas tuduhan tindak pidana penggelapan. Bambang meninggal di Rumah Sakit Bhayangkara. Keluarga melihat ada luka pada korban saat di tahanan. Bambang sempat muntah bercampur darah dan mendapati potongan besi jepitan kuku yang keluar dari mulutnya bersamaan dengan muntahan tersebut.
Tanggal 4 April 2016, Juprianto, tahanan Polres Luwu, tewas diduga akibat praktik penyiksaan terkait kasus curanmor. Saat masuk tahanan, Jupri dalam kondisi baik, namun beberapa hari kemudian ditemukan dalam keadaan kaku dengan luka di sekujur tubuh. Terdapat pihak yang mengatasnamakan polres memberikan sejumlah uang kepada istri dan orang tua korban pasca korban meninggal.
Tanggal 6 Juni 2016, anggota Badan Narkotika Nasional (BNN) diduga menyiksa Abdul Jalil hingga Tewas di Kendari, Sulawesi Tenggara. Kondisi tubuh Abdul penuh dengan luka-luka lebam di sekujur tubuh dan luka tembak di bagian kaki kanan.
Terakhir, penyiksaan menimpa Adlun Fikri, mahasiswa di Ternate, karena dianggap mengancam institusi Polri. Fikri mengunggah video dugaan suap yang dilakukan anggota Polres Ternate saat melakukan tilang kendaraan bermotor yang mengakibatkannya tetapkan sebagai tersangka dan ditahan Polres Ternate. Selama berada dalam tahanan, Adlun mengalami penyiksaan oleh anggota Polres Ternate seperti ditendang di bagian rusuk dengan sepatu lars, dipaksa
push-up, dipukul di bagian lengan, dan kepala bagian belakang hingga memar. Kasus Adlun kemudian dihentikan karena Polri menarik laporannya.
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, insitusi ini harus mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
(rel/rdk)