Jakarta, CNN Indonesia -- Sebuah rekaman percakapan antara Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi dan Ketua Balegda (Badan Legislasi Daerah) DPRD DKI M. Taufik diperdengarkan di ruang sidang kasus dugaan suap raperda reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Dalam rekaman percakapan tersebut, Prasetio sempat menyinggung masalah "pasal orderan". Salah seorang jaksa penuntut umum lantas mempertanyakan istilah 'pasal orderan' yang diucapkan Prasetio tersebut pada Taufik.
"Pada detik 52 Pak Prasetio mengatakan 'apa pasal yang diorder sudah beres semua?'. Itu maksudnya apa," kata Jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (20/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Taufik menjawab, maksud 'pasal orderan' dalam rekaman itu adalah kebijakan dari fraksi partai pengusung Prasetio.
Sebelum adanya perbincangan lewat telepon tersebut, Taufik mengaku dirinya sempat berbicara langsung dengan Prasetio perihal pasal reklamasi yang menurut fraksi PDI Perjuangan harus diatur agar tidak masuk dalam rancangan perda tata ruang.
Menurut Pras, seperti diulang oleh Taufik, PDI Perjuangan tak mau Perda tata ruang mengatur juga soal izin reklamasi. Hal itu yang diklaim Taufik sebagai 'pasal orderan' dari Prasetio.
"Pak Pras pernah sampaikan ke saya bahwa kebijakan fraksinya izin reklamasi tak boleh ada di raperda itu. Saya katakan 'oke'," ujar Taufik.
Mendengar tanggapan tersebut, jaksa langsung mengkonfrontir dengan Prasetio yang juga menjadi saksi. Jawaban Prasetio tak jauh berbeda dengan yang dilontarkan oleh Taufik.
Menurut Sekretaris DPD PDI Perjuangan DKI itu, dalam rapat fraksi, partainya tak ingin izin reklamasi dimasukkan dalam raperda tata ruang.
Dia mengaku bahwa istilah 'pasal orderan' merupakan candaan yang biasa dia lakukan saat menghubungi temannya. "Memang bahasa saya suka bercanda dengan yang lain," kata Prasetio.
Menurut Prasetio, raperda tata ruang hanya boleh mengatur soal lokasi tempat-tempat strategis di wilayah hasil reklamasi, seperti kelurahan hingga polsek. Karena itu PDI Perjuangan berkukuh izin reklamasi tak bisa masuk dalam raperda tersebut.
Dalam sidang pembacaan dakwaan milik terdakwa Ariesman Widjaya sebelumnya disebutkan tentang adanya pertemuan antara sejumlah anggota DPRD dengan bos PT Agung Sedayu Group Sugiyanto Kusuma alias Aguan pada Desember 2015. Mereka membahas soal raperda zonasi dan tata ruang yang tak kunjung kelar.
Pihak pengembang termasuk Ariesman kemudian meminta Sanusi untuk mempercepat proses pembahasan raperda. Hal yang membuat alot pembahasan adalah kontribusi tambahan 15 persen yang dianggap memberatkan bagi pengembang.
Ariesman kemudian menjanjikan akan memberikan uang sebesar Rp2,5 miliar pada Sanusi jika pasal tambahan kontribusi dimasukkan dalam pasal penjelasan dengan menggunakan konversi. Dia khawatir jika tanpa penjelasan maka nilai tambahan kontribusi menjadi tidak jelas.
Tak lama kemudian petugas KPK mencokok Sanusi dan Trinanda di tempat terpisah. Keesokan harinya, pada 1 April 2016, Ariesman menyerahkan diri ke kantor KPK.
(meg)