Jakarta, CNN Indonesia -- Gelombang penolakan pelaksanaan eksekusi mati bagi terpidana mati kasus narkotika kembali muncul menyusul rencana eksekusi terpidana mati Indonesia tahap III. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) masih mendesak pemerintah untuk menunda eksekusi tersebut karena menyangkut urusan nyawa manusia.
“Alasan mendasar bahwa mencabut nyawa adalah urusan Tuhan, sesuai konstitusi,” kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono kepada CNNIndonesia.com, Minggu (24/7).
Supriyadi menyatakan pemerintah Indonesia harus menunda hukuman mati tahap III dan mulai menerapkan moratorium hukuman mati sembari menunggu selesainya pembahasan dan disahkannya Rancangan KUHP di DPR. “DPR telah menyepakati hukuman mati sebagai pidana khusus alternatif,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
ICJR tetap berpandangan bahwa hukuman mati seharusnya semakin jarang diterapkan dalam pengadilan. Fakta menunjukkan bahwa kebijakan hukuman mati berbasis efek jera yang selalu digunakan oleh pemerintahan Jokowi menunjukkan kegagalan. “Soal narkotika tidak akan selesai walaupun pemerintah mengeksekusi mati 1000 orang,” ujar dia.
Supriyadi mengaku prihatin atas kebijakan yang didorong oleh pemerintah yang masih berkeras melakukan eksekusi mati. Walaupun pemerintah telah berulang kali menyatakan bahwa mereka menerapkan hukuman mati sesuai dengan hukum dan standar internasional namun berdasarkan beberapa hasil monitoring dan laporan dari banyak organisasi, ada beberapa kasus yang diduga melanggar prinsip fair trial yang masuk daftar eksekusi mati saat ini.
“Yakni yang menimpa Yusman Telaumbanua yang berasal dari Riau. Kemudian Mary Jane Veloso, warga negara Filipina, dan Zulfiqar Ali, warga negara Pakistan,” kata Supriyadi.
Dia menyatakan ICJR bersama dengan organisasi masyarakat lainnya mendorong pemerintah agar segera melakukan review menyeluruh terhadap kasus-kasus yang dicurigai melanggar prinsip fair trial atau peradilan yang adil itu.
“Kami mendorong agar pemerintah membentuk tim independen berdasarkan keputusan presiden untuk mendalami kasus-kasus unfair trial di Indonesia,” ujar Supriyadi.
Pemerintah, tambah dia, juga diharapkan membentuk badan yang independen dan imparsial untuk meninjau semua perkara hukum yang terkait dengan penjatuhan hukuman mati dengan maksud untuk meringankan hukuman mati.
“Terutama dalam perkara yang mana hukuman mati dijatuhkan pada yang tidak memenuhi standar-standar peradilan yang adil, atau dalam perkara yang secara prosedural cacat. Sebelum melakukan hal ini Indonesia sebaiknya melakukan moratorium,” tuturnya.
Serupa dengan ICJR, Imparsial juga mendesak pemerintah menunda pelaksanaan eksekusi terpidana mati kasus narkotik hingga pembahasan Revisi Undang-undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selesai.
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf mengatakan, penundaan harus dilakukan karena dalam draf revisi terdapat pasal yang mengatur eksekusi mati. “Posisi eksekusi mati dalam draf tersebut telah bergeser dari pidana pokok ke pidana alternatif,” kata Araf, Minggu (24/7).
Selain karena pertimbangan revisi KUHP, Araf juga menilai pelaksanaan hukuman mati harus ditunda di tengah terungkapnya praktik peradilan yang buruk belakangan ini.
Sementara itu anggota Komisi Hukum DPR RI Arsul Sani mengatakan kalangan lembaga swadaya masyarakat yang serentak menolak hukuman mati hanya melihat hak asasi manusiadari perspektif pelaku kejahatan yang menjadi terpidana mati.
Menurut politisi PPP itu perspektif HAM mereka mengabaikan HAM korban kejahatan yang terutama dalam kasus narkotika tidak hanya menyangkut HAM para penyalahguna saja. “Tetapi juga HAM-nya seluruh warga bangsa, terutama para orang tua untuk mendapatkan jaminan generasi muda yang bermasa depan sehat baik jasmani maupun rohani,” ujar Arsul kepada CNNIndonesia.com, Minggu (24/7).
(obs)