Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Komisi I DPR Charles Honoris mengingatkan bahwa peran TNI dalam penanggulangan terorisme seharusnya hanya bersifat perbantuan terhadap Kepolisian.
"Pelibatan TNI itu harusnya bersifat perbantuan, karena kita menganut pendekatan
criminal justice system (sistem peradilan pidana) dalam pemberantasan terorisme," kata Charles di Gedung DPR, Jakarta, Senin (25/7).
Charles berpendapat, saat ini unsur Kepolisian dalam penanggulangan terorisme sudah cukup. Pelibatan TNI secara aktif, disebutnya akan mengubah pendekatan penanggulangan teror menjadi model perang (war model).
Pelibatan TNI kata Charles, hanya dibutuhkan ketika ada permintaan dari Kepolisian dan dengan persetujuan Presiden. Hal ini juga untuk menghindari kerancuan undang-undang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Charles menyebut berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 34 Tahun 2004, TNI memiliki dua tugas pokok yang bertujuan untuk melindungi kedaulatan negara, yaitu operasi militer untuk perang serta operasi militer selain perang.
Dengan demikian, menurutnya, keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme masuk kategori operasi militer selain perang.
"Tidak perlu lagi (pelibatan TNI), nanti akan ada kerancuan UU, susah. Jadi kesulitan sendiri," kata Charles.
Sementara, anggota Komisi Hukum DPR Arsul Sani menjelaskan, berdasarkan masukan dari kalangan akademisi saat kunjungan kerja, pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme dapat dilakukan dalam situasi tertentu.
"Namun tidak boleh keluar jauh dari UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara," kata Arsul.
Dalam Pasal 10 UU Pertahanan Negara disebutkan bahwa tugas TNI dalam mempertahankan negara, di antaranya adalah menjaga kedaulatan dan menjalankan operasi militer selain perang.
Sehingga, menurutnya pelibatan TNI juga tidak boleh menggeser paradigma penanggulangan terorisme dari pendekatan peradilan ke model perang.
Selain itu Arsul mengungkapkan, dalam kunjungan kerja ke tiga daerah yakni Bima, Poso dan Solo, Pansus revisi RUU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme akan membahas masukan dari elemen masyarakat yang meminta peningkatan peran masyarakat dalam mencegah paham radikal.
Revisi disebutnya juga harus memperhatikan perlindungan hak asasi manusia bagi mereka yang diduga terlibat maupun yang menjadi korban.
"Dalam konteks ini maka kekerasan oleh aparat tidak boleh lagi terjadi kecuali dalam situasi ada perlawanan yang membahayakan masyarakat," ujar Asrul.
Definisi TerorismeKetua Pansus revisi RUU Terorisme Mohammad Syafii berkata, pihaknya juga tengah menggodok persoalan mengenai definisi teroris.
Syafii mengungkapkan, UU yang ada saat ini belum mencantumkan definisi tersebut sehingga terjadi kerancuan tentang siapa yang dimaksud sebagai teroris.
"Sekarang tidak ada definisi biar bebas aja menuduh. Istilahnya menetapkan teroris itu suka-suka Densus, karena tidak ada kriteria yang jelas," ujar Syafii.
Syafii melanjutkan, Pansus RUU Terorisme sedang merampungkan daftar inventaris masalah setiap fraksi hasil kunjungan kerja ke Bima, Poso dan Solo sebelum dilanjutkan kembali ke pembahasan.
(wis)