Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memprioritaskan sektor energi dalam program penurunan emisi gas rumah kaca. Program ini merupakan komitmen Indonesia jelang meratifikasi Perjanjian Paris tahun 2015 mengenai perubahan iklim.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Nur Masripatin menjelaskan ada lima sektor yang diutamakan dalam program penurunan emisi gas rumah kaca.
Kelima sektor itu adalah sektor energi, limbah, industri, pertanian, dan kehutanan. Sektor energi menjadi sektor dengan potensi pengurangan emisi terbesar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nur menyatakan, sumbangan dalam mitigasi pengurangan emisi dari sektor energi mencapai 1357 juta ton CO2e dalam target National Determined Contribution (NDC) Indonesia dalam Konvensi Kerangka Kerjasama Persatuan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC).
"Skenario perhitungan ini kami susun berdasarkan potensi penurunan emisi gas rumah kaca serta kebijakan dan inisiatif baru pada masing-masing sektor," ujar Nur pada acara Komunikasi Publik NDC di KLHK, Kamis (11/8).
Perhitungan kontribusi masing-masing sektor terkait pengurangan emisi dalam NDC, tutur Nur, dibentuk dengan target pencapaian hingga tahun 2030.
KLHK memprediksi sekitar 869 juta ton CO2e emisi gas karbon bisa dikurangi dari kelima sektor tersebut. Untuk mewujudkan itu, KLHK akan memanfaatkan energi baru dan terbarukan (EBT) pada sektor energi.
Salah satunya dengan cara menggunakan pembangkit listrik dengan teknologi efisien.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Ridha Mulyana menyatakan,sejauh ini pemanfaatan EBT di Indonesia masih sekitar 5 sampai 6 persen. Oleh karena itu perlu ada pembahasan lebih lanjut bersama kementerian-kementerian terkait target penurunan emisi pada masing-masing sektor.
Ridha mengingatkan bahwa formula dan metode penghitungan penurunan emisi harus bersumber dari satu data dan model yang sama. "Penghitungan pengurangan emisi ini sangat berdampak ke kebijakan yang selama ini sudah ada, khususnya ESDM ya, kami belum sepakat makanya perlu ada komunikasi lagi," kata Ridha.
Ketua Dewan Pengarah Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmaja menyatakan perlu ada kesatuan politik dan penyamaan persepsi antar pemangku kepentingan dalam hal pengendalian perubahan iklim.
Ia mengingatkan mengenai sulitnya menjaga komitmen nasional terkait pengurangan emisi gas. Padahal, ada konsekuensi sangat besar jika Indonesia melanggar komitmen yang telah diteken lebih dari 100 negara itu dalam Perjanjian Paris.
Saat ini KLHK telah mempersiapkan berbagai kebijakan penyesuaian yang akan menjadi pedoman tindakan Indonesia sebagai negara yang meratifikasi Perjanjian Paris. Salah satunya komitmen untuk mengurangi emisi gas karbon nasional.
Perjanjian Paris merupakan sebuah kesepakatan internasional untuk menanggulangi perubahan iklim global. Komitmen negara-negara dituangkan dalam Intended Nationally Determined Contributions (INDCs) untuk periode 2020-2030.
(wis/wis)