Jakarta, CNN Indonesia -- Muhammad Bakri mulai sadar ketika ada perubahan mutu udara saat PLTU Tanjung Jati B milik PT PLN (Persero) di Dukuh Sekuping, Kecamatan Kembang, Jepara, Jawa Tengah beroperasi sejak 2006.
Tak hanya asap, tapi juga butiran debu yang mulai dirasakan warga sekitar. "Kalau ada debu yang pertama kali kena ya warga sini, orang Sekuping,” kata dia dalam sebuah video pada pekan lalu.
PLTU Tanjung Jati B beroperasi sejak 2006, memiliki empat unit pembangkit dengan total kapasitas 2.640 MW. Pembangkit itu berbahan bakar batubara dan menyumbang 25 persen listrik dari pembangkit batubara di Jawa. Data Kementerian ESDM menyatakan PLTU itu mengkonsumsi 8 juta ton batu bara setiap tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masalahnya, keluhan warga Sekuping yang terletak di Desa Tubanan itu, tak mendapatkan respons.
“Baunya menyengat, debunya kalau musim kemarau ke pemukiman warga,” kata Bakri.
Tak hanya soal bau dan debu, warga desa kerap terganggu dengan suara bising proses pengolahan batubara.
 ilustrasi PLTU. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru) |
Ngatimah, salah seorang warga Desa Tubanan lainnya, menyatakan dirinya menjadi tak betah tinggal di kampung halaman sendiri. Debu dan kebisingan, katanya, terus terjadi seolah tak kenal waktu.
Ngatimah mengatakan protes pernah dilakukan, namun perusahaan tak berbuat banyak.
“
Ndak nyaman di sini, bisik terus kalau malam. Teropong (corong) pabrik itu bunyinya keras
dudududu seperti motor
mabur, kalau punya darah tinggi dan penyakit jantung kan bahaya," kata dia.
Batubara memang masih menjadi andalan pemerintah untuk energi listrik. Biaya operasi PLTU batubara dinilai jauh lebih rendah dan bersaing daripada PLTU energi alternatif lainnya.
Sebagai contoh, tarif listrik PLTU batubara saat ini masih sekitar USD51,22/MWh, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tarif listrik Pembangkit Listrik Tenaga Angin baik daratan maupun lepas pantai. Tarif itu berkisar US$78,25/MWh dan US$123,55/MWh.
Bekas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik menyatakan operasi unit 4 PLTU Tanjung B akan membantu Jawa-Bali untuk surplus listrik. “Ini momen tepat untuk mendorong sektor industri," kata Wacik pada awal Februari 2012.
Namun, Greenpeace Indonesia menyatakan biaya itu lebih murah karena belum memasukkan biaya pemulihan lingkungan dan kesehatan.
Koordinator Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Arif Fiyanto menyatakan tarif listrik yang rendah dari PLTU batubara belum mencakup biaya lingkungan dan kesehatan akibat emisi.
“Jika dampak kesehatan masuk menjadi bagian
share of generation cost, tarif batubara akan jauh lebih tinggi yakni US$152/Mwh,” kata Arif.
International Energy Agency (IEA) mengungkapkan bahan bakar batubara menyumbang 44 persen dari total emisi karbon (CO2) global. Pembakaran batubara adalah sumber terbesar emisi gas rumah kaca yang memicu perubahan iklim.
Walaupun demikian, Greenpeace Indonesia memperkirakan pembangunan PLTU batubara akan bertambah. Hal itu terkait dengan rencana proyek listrik 35.000 MW yang dicanangkan dalam Rencana Usaha Penyedia Tenaga Listrik (RUPTL) PLN periode 2015— 2025.
Program peningkatan daya ketenagalistrikan itu turut menambah kebutuhan akan pembangkit baru. Dari total 35.627 MW, 65 persen atau sekitar 19.813 MW akan dipasok melalui PLTU. Pemerintah menyatakan penambahan daya listrik hingga 35.000 MW ini ditujukan untuk memenuhi pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,6 persen per tahun.
Riset Greenpeace, kata Arif, menunjukkan total investasi PLTU batubara yang dibutuhkan mencapai US$58,5 miliar atau sekitar Rp770 triliun.
Namun, kata dia, organisasi lingkungan itu juga menunjukkan penelitian terbaru dari Harvard University soal dampak kesehatan karena batubara. Arif menegaskan biaya ekonomi yang ditimbulkan justru mencapai Rp351 triliun yang harus ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat.
Greenpeace menyatakan emisi PLTU batubara juga menyebabkan kematian dini. Arif menegaskan proyek listrik melalui pembangkit batubara akan menyebabkan kematian dini hingga 20.687 orang per tahun.
“Kematian dini disebabkan masalah kesehatan akut seperti stroke, penyakit jantung isemik, penyakit paru kronik, kanker, dan gangguan pernafasan lainnya,” kata Arif.
“Kalau bisa, PLTU ya ditutup saja,” tegas Karsalim, salah satu warga Desa Tubanan lainnya.
 Protes penggunaan batubara karena berdampak pada kesehatan. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Memprioritaskan Energi TerbarukanGreenpeace Indonesia meminta energi terbarukan menjadi prioritas.
"Penggunaan energi terbarukan memang tak semurah batubara," kata Arif, "Namun, teknologi itu tak memiliki biaya eksternal, seperti biaya kesehatan."
Soal ini, pemerintah sebenarnya sudah punya target. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Ridha Mulyana sebelumnya menyatakan sejauh ini pemanfaatan EBT masih sekitar 5 persen—6 persen saja, yang ditargetkan hingga 23 persen pada 2025.
Menurut Rida, implementasi EBT membutuhkan kordinasi dari semua pihak. Pemerintah, kata dia, ingin mereformasi tiga pilar utama yakni teknologi, pengembangan kompetensi, dan kemudahan proses bisnis.
“Pemerintah masih butuh menyediakan insentif dan fasilitas untuk mendorong (investor) EBT,” kata Rida dalam rilis resmi.
Masalah energi memang pelik, setidaknya buat warga Desa Tubanan.
Seorang bidan desa, Rina Anjarwati menyatakan dirinya sering menemui pasien yang mengalami batuk dan sesak nafas. Dia juga menyaksikan bagaimana hujan abu terjadi—dan menempel melekat pada pakai warga sekitar.
“Kualitas udara di Desa Tubanan,” kata Rina, “Sudah tak baik untuk kesehatan.”
(asa)