Jakarta, CNN Indonesia -- Delegasi Indonesia meminta Interpol menyeragamkan mekanisme permohonan pencarian buron internasional (
red notice). Permintaan tersebut disampaikan pada Sidang Umum Interpol ke-85 di, Badung, Bali, kemarin.
Ketua Delegasi Indonesia Komisaris Jenderal Dwi Priyatno mengatakan, keseragaman itu sangat vital. Alasannya, kata dia, selama ini perbedaan
red notice kerap merugikan proses penegakan hukum.
Dwi mencontohkan, sebuah negara dapat melepas seorang buron atas dasar masa penahanannya yang habis. Pembebasan buron itu merugikan Polri karena penyidikan terhadap terduga pelaku kejahatan tersebut belum selesai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harus tegas, mempunyai waktu selang ditangkap, ditahan dan cukup sehingga kami mudah untuk memprosesnya," kata Dwi.
Menurut Dwi, beberapa negara mengusulkan hal serupa karena mengalami kerugian yang sama.
Menurut catatan, Interpol telah mengeluarkan 83 red notice berdasarkan permohonan Polri. Hingga 2016, baru terdapat 11 buron yang ditangkap atas peringatan tersebut.
Sebelas buron itu adalah Samadikun Hartono, Hartawan Aluwi, Dimitar Nikolov Iliev, Totok Ari Praboo, Adrian Kiki Ariawan, Sherny Kojongian, David Nusa Wijaya, Peter Dunda Walbran, Anggodo Wijoyo, Gayus Tambunan dan Muhammad Nazaruddin.
Kepala Biro Misi Internasional Polri Brigadir Jenderal Johanis Asadoma mengatakan, negara anggota Interpol sering menghadapi kesulitan menangkap para buron. Penangkapan terhambat karena kepolisian setempat tidak mengetahui seluk beluk perkara yang dituduhkan.
"Begitu
red notice dikeluarkan, seluruh anggota wajib menindaklanjuti. Walau demikian, tersangka tersebut tidak selalu sudah diketahui keberadaannya. Negara Interpol kadang masih buta," ujarnya.
(abm/sur)